Arven Danendra tidak seburuk itu rupanya, wajahnya jauh lebih indah saat ia tidak memakai kacamata anehnya itu. Tolong doakan Sheren! Sheren mau menemuinya di minimarket sore nanti. Tuhan , mudahkan Sheren ya!
“Nulis jurnal kayak gini bukan sih?” gumam Sheren saat selesai menulis bait pertama dalam jurnal pemberian semesta.
Kemudian ia tersenyum kecil dan menyimpan jurnal pink itu kedalam tas nya.
✨✨✨
“Sean! Stop! Stop!” pekik Sheren sambil menepuk-nepuk pundak Sean.
Sean mengerem motornya dengan panik, kemudian membuka kaca helmnya dan menoleh ke belakang.
“Kenapa kak? Ada yang jatoh?”
Sheren menggeleng kemudian turun dari motor dan melepas helmnya.
“Ada Arven, gue mau bareng dia aja ya?” ujarnya.
Sean mengernyitkan dahinya “Arven yang anak baru? Yang waktu itu nabrak gue?”
Sheren mengangguk dengan semangat “Iya! Doain gue ya!” ujarnya sambil menepuk pundak Sean sekali dan berlari kecil menuju Arven yang berjalan sendiri.
Sean menatap kakaknya tidak percaya, bagaimana bisa dia menyukai lelaki yang tempo hari ia maki-maki?
Ah Sean lupa kalau kakaknya itu sangat abstrak.
“Arven!” panggil Sheren sambil menyamakan langkahnya dengan Arven.
Arven mengumpat dalam hati setelah mendengar suara itu, ia bahkan tidak berhenti atau memperlampat laju langkahnya. Justru ia ingin menghilangkan diri sekarang.
“Hai!” sapa sheren sambil melambaikan tangan
Arven menghentikan langkahnya kemudian mengeluarkan beberapa lembar uang dari sakunya, dan menyodorkan selembar uang seratus ribu pada sheren.
“ini saya ganti uang kamu,” ujarnya
Sheren menggeleng, kemudian mengambil selembar uang itu dan memasukkannya ke saku arven.
“jangan diganti uangnya, kan aku udah bilang aku yang traktir,” ujar sheren
Arven terdiam “tapi saya nggak enak.”
“Aku!”
“iya, tapi aku nggak enak,” ralat arven
Sheren terkekeh melihat Arven benar-benar menurut mengganti katanya dengan ‘aku’
“Kamu nggak perlu ganti uangnya, cukup biarin aku temeninn kamu ya?” ujar Sheren.
“Eh?!”
“Ayo!” sheren menggamit tangan arven kemudian menariknya agar berjalan lebih cepat.
Arven sedikit gugup, rasanya sudah lama dirinya tidak berkontak fisik dengan wanita.
“Arven ngomong dong, biar nggak sepi,” ujar Sheren sambil mendongak menatap Arven.
“Aku nggak suka ngobrol.”
“Terus Sukanya apa?”
Arven diam.
“Ven? Sheren tanya, kamu sukanya apa?”
Arven menggeleng, kemudian matanya tertuju pada tautan tangan mereka berdua. Buru-buru ia melepaskan tangannya.
“Eh? Kok dilepas?” tanya Sheren.
“Memangnya harus berpegangan seperti itu? Biar apa?”
“Biar orang-orang tahu kalau kita deket!”
“Emangnya kita deket?”
Sheren mengangguk “Arven mau kan deket Sheren?”
Arven tentu tidak menjawab.