Reon mambuka helm nya kemudian menaruhnya asal di atas jok motor, kemudian ia menatap wajahnya yang babak belur penuh luka basah di spion.
Ia meringis pelan, ngilu melihat wajahnya penuh darah dan sebagian membiru akibat ulah teman-teman Axel yang tidak punya hati.
“Kenapa wajahmu?”
Reon menengok kemudian ia menggertakkan rahangnya saat melihat sosok Namjun berdiri tak jauh darinya sambil menyilangkan tangan.
“Ini gara-gara lo! tau?!” bentak Reon sambil menarik kerah Namjun gemas.
Namjun hanya diam menanggapi sikap Reon, setelahnya Reon menghempaskan Namjun dengan kasar.
“Kenapa karena saya? Saya kan tidak di sekolah kamu tadi.”
“Ini gara-gara lo buat cewe kayak Sheren masuk ke masalah ini, kalo lo nggak buat dia terikat sama janji bodoh itu nggak akan begini jadinya! Liat sekarang satu sekolah musuhin dia! gue emang nggak suka Sheren sama Axel, tapi kalo sama Arven lebih bikin dia sengsara lebih baik dia sama Axel!” ujar Reon menggebu-gebu.
“Saya sudah beri tahu pada Ryu, kedepannya tidak akan semudah itu—”
“Lo ngasih tau Sheren doang nggak cukup! gue dari kecil sama dia, main sama dia, jadi tempat pelarian dia kalau dia lagi sedih, jagain dia dari mereka mereka yang ganggu. Termasuk saat lo masukin di ke masalah ini, gue yang harus turun tangan! Nyusahin lo!”
Baru saja Namjun ingin membuka mulut untuk membalas Reon, sebuah motor berhenti tepat di sisi motor Reon. Cowok yang mengendarainya turun dan membuka helm.
“Siapa itu?” tanya Namjun.
Cowok itu pun berjalan ke arah mereka.
Reon menoleh menatapnya.
“Sheren udah dirumah?” tanya Reon.
Sean mengangguk “Udah, kacau banget keadaanya.”
Reon menghela kasar.
“Nih dateng satu lagi pawangnya Sheren. Dia adeknya, Sean,” ujar Reon pada Namjun.
Namjun mengangguk “Aku tahu, kita sering bertemu saat saya mengunjungi Ryu di rumahnya.”
Sean hanya tersenyum samar, kemudian ia melihat kedua lelaki di hadapannya dengan bingung.
“Ini mau ngomongin apa sih? Gue harus buru-buru balik, Kak Sheren sendiri dirumah.”
Reon menatap Namjun dingin.
“Jelasin!” pintanya.
✨✨✨
“Maaf ya, karena saya kamu jadi dikucilkan oleh satu sekolah. Saya janji tidak akan dekat dekat kamu, saya juga minta tolong supaya kamu jangan dekat-dekat saya lagi.” ujar Arven.
Sheren menatap Arven dengan mata sembabnya.
Gadis itu menggeleng kemudian meraih tangan Arven.
“Gak apa-apa, kita gak perlu jauhan kok, kita bisa hadapin ini sama-sama.”
Arven melepaskan tangannya dari tangan Sheren.
“Satu hari Sherenia, satu hari saya bersama kamu dan sudah menimbulkan masalah sebesar ini. Cukup satu hari kita dekat, saya tidak mau buat kamu tambah sedih.”
Sheren diam kemudian cewek itu benar-benar keluar dari pagar rumahnya lalu memeluk Arven.
“Aku suka kamu, tapi kalau kamu begini aku gak suka. Gausah dengerin apa kata orang, kita pura-pura gak tau aja,” ujar Sheren kemudian mendongak menatap Arven.
Arven menenggak salivanya, lalu memegang bahu Sheren dan sedikit mendorongnya agar melepas pelukannya.
“Maaf, aku serius. Ini demi kebaikan kamu,” ujar Arven sambil menatap Sheren lekat-lekat.
Mata Sheren mulai memproduksi cairan bening, pandangannya kembali kabur.
Sheren menangis lagi “Tapi—Sheren kan suka sama Arven!”
“Aku tau, kamu pikir aku nggak suka sama kamu? Gimana bisa saat satu sekolah suka sama kamu, dan aku tidak? Aku juga suka sama kamu, bahkan aku begitu saja sayang sama kamu waktu kamu ajak aku makan siang, kamu pegang tanganku, kamu temani aku bekerja. Aku benar-benar sudah jatuh padamu sherenia.” ujar Arven.
Kemudian cowok itu menggeleng tegas.
“Tapi tidak, kita lebih baik kembali seperti awal. Kamu dan aku, Arven, dan Sheren. Masing-masing, oke?”
Sheren menggeleng, air matanya kian deras kemudian gadis itu meremat lengan baju Arven.
“Maaf karena sudah menyuruh kamu menjauh dari Axel kemarin. Saya salah, kamu lebih baik sama Axel,” ujar Arven sambil mengeluarkan sesuatu dari sakunya.
Itu gelang rantai pemberian Axel, cowok itu memasangkan kembali gelang itu ke pergelangan tangan Sheren.
“Jangan, Sheren mohon jangan kayak gini Ven…” mohonnya.
Arven tentu hanya diam, kemudian ia menyelipkan rambut panjang Sheren ke belakang telinganya dengan lembut, setelah itu ke mengelus pipinya.
“Sudah ya, kamu istirahat.”
Arven pergi.
Sheren seakan terpaku melihat tiap langkah yang Arven ambil yang membuatnya kian jauh.