Kedua kakak beradik itu sedang duduk di kursi taman kota, Sean memutuskan membawa kakaknya keluar rumah agar pikirannya lebih segar.
Sudah 3 hari sejak kejadian itu, Sheren selalu diam di kamar, tidak sekolah, dan bahkan sangat sulit untuk membujuknya agar mau makan.
Selama ini Sheren terlalu istimewa di mata orang-orang, dan inilah pertama kali Sheren dijatuhkan, tidak tanggung-tanggung oleh satu sekolah.
Sean paham perasaan kakaknya, dan ini semua tidak akan mudah.
“Kak, kapan mau masuk sekolah lagi?” tanya Sean.
Sheren menatap ke arah taman bermain dengan tatapan kosong lalu menghela.
Gadis itu menggeleng pelan.
“Oke, emm—lo mau apa? Eskrim? Gue beliin ya?”
Kakaknya menggeleng.
Sean menggaruk tengkuk, sedang berpikir bagaimana cara menghibur Sheren. Persis seperti seorang cowok yang kebingungan untuk membujuk pacarnya agar tidak merajuk.
“Kalo permen kapas? Oh! Atau gue beliin ketoprak?”
Sheren tidak menggeleng, kali ini cewek itu memilih untuk diam alih-alih merespon tawaran adiknya.
“Terus mau apa dong? Jangan murung terus kak, kasian tau mama—”
“Gue mau Arven.”
Sean melebarkan matanya setelah mendengar ucapan Sheren yang memotong bicaranya.
“Kak—”
“Gue gak peduli sama orang-orang, gue serius cuma butuh Arven. Apa salah kalo gue sayang sama Arven?” Sheren kembali memotong ucapan Sean.
Sean menghela kemudian menggeleng “Nggak, nggak sama sekali. Lo berhak sayang sama siapapun.”
Sheren tersenyum miris kemudian mendengus samar “Tapi kayaknya orang-orang menentang perasaan gue, termasuk Reon, dan mungkin juga lo?” gadis itu menatap Sean dengan matanya yang sembab.
Sorot matanya nampak lelah, sedih, dan putus asa.
Sean menggeleng “Gue gak akan berlaku kayak Kak Reon atau orang-orang lain, tapi Kak Reon gak ada salahnya. lo jatuh cuma gara-gara lo bareng sama dia kurang dari satu hari, apa jadinya kalo lo terus bareng sama dia Kak?”
Sheren kembali menunduk, kali ini lebih dalam. Ia menggenggam tangan nya erat-erat.
“D—dia jodoh gue dek…, hiks—” ujarnya kemudian terisak.
Hati Sean berdesir mendengar kakaknya berbicara demikian, entah mengapa Sean dapat merasakan kalau Sheren sedang lelah.
Sean menggeser duduknya dan membawa kepala Sheren agar bersandar di pundaknya.
“Gue tau, Kak Namjun cerita semuanya—”
“Tapi lo nggak perlu percaya sama omong kosong cowok aneh itu, lo bisa pura-pura gak pernah ketemu Namjun tanpa harus terbebani sama semua yang dia omongin dan hidup normal.”
Keduanya mendongak menatap Reon yang lagi lagi muncul tiba-tiba, cowok itu masih berseragam lengkap yang sedikit berantakan.
Sean langsung berasumsi bahwa cowok ini bolos lagi, ini bahkan belum tengah hari dan Reon sudah ada di taman ini?
Sean geleng-geleng kepala.
Reon berlutut dan menapakkan sebelah kakinya di hadapan Sheren.
“Ada tiga hal yang Tuhan rahasiakan, rezeki, ajal, dan jodoh. Hanya Tuhan yang tau kapan lo mati, kapan lo dapet uang, dan siapa jodoh lo. lo tau itu kan?” ujar Reon.
Sheren masih sedikit terisak di pundak Sean, kini tangannya meremas lengan baju adiknya.
“Apa lo nggak pernah mikir kalo Namjun cuma bohongin lo?”
Sheren menggeleng “Gue percaya sama Kak Namjun,” cicitnya.
Reon mendengus “Percaya? Percaya lo bilang? Dia bahkan nggak ngasih tau kita nama aslinya, faktor apa yang bikin lo percaya sama dia Ren?” Reon kian menaikkan oktaf bicaranya.
“Kak…” Sean menegur Reon.
Sementara si gadis masih menangis.
Reon memejamkan mata berusaha menenangkan dirinya agar emosi tidak menguasai dirinya, kemudian ia kembali menatap Sheren.
“Ren, gue janji gue gak akan marah lagi kalau lo mau jadian sama Axel. Gue rela lo jadian sama dia, asal—”
“Gabisa Re…, udah gak ada rasa sama Axel. Sekarang gue beneran cuma pengen sama Arven.”
Reon tercekat mendengar pernyataan Sheren.
“L-lo nggak perlu terpaksa sayang sama Arven cuma gara-gara takut akan kesialan yang menimpa lo! Namjun cuma bikin lo takut! Kesialan itu gak ada!” ujar Reon, kali ini cowok itu benar-benar terlihat kesal.
Sheren menggeleng cepat “Masa bodo sama sial, gue beneran udah pilih dia”
“Jangan jadi cewe bego Sheren!” bentak Reon.
“Kak Reon,” Sean menegur cowok itu lagi, kali ini dengan intonasi yang tegas.
Tangis Sheren pecah, gadis itu menenggelamkan wajahnya ke pundak Sean.
Sementara Reon kembali menetralkan deru napasnya.
Sean menatap Reon dengan nyalang, sungguh ia tidak menyangka Reon membentak Rheren seperti itu.
Mendengar tangisan kakaknya yang makin menjadi, Rean pun bangkit sambil merangkulnya.
“Kita pulang Kak.”
✨✨✨
Arora melangkah menuju kelas, diiringi tatapan aneh dari para murid lain.
Ini sudah hari ketiga sejak orang-orang ikut mengucilkannya. Tapi kini ia sudah tidak terlalu peduli.
Sekitar satu jam lalu, Reon membolos tanpa mengajaknya.
Bagus sekali, ia tidak punya teman sekarang. Reon membolos, Sheren tidak menujukkan tanda-tanda akan masuk, dan teman-temannya ikut menjauhi Arora.
Tapi beberapa menit lalu ia mendapat pesan dari Sean, itulah yang membuat Arora rela repot-repot ke kantin.
“Nih makan.”
Arven mendongak saat Arora menyodorkan sebungkus roti dan susu kotak padanya.
“Saya bisa beli sendiri.”
Arora berdecak “Gausah baku-baku bahasanya kenapa sih? Udah makan aja, ini dari Sheren,” kata Arora.
Arven terkesiap mendengar nama gadis itu disebut, ah! bahkan ia hampir melupakan keberadaan sheren.
“Sherenia?”
Arora mengangguk.