Because I Know

Rizqiqa Adibya
Chapter #15

That Promise

Jenandra berjalan menyeret kantung sampah menuju tempat pembuangan di dekat rumah besar tempatnya bekerja.

Setelah memasukkan kantung sampah itu kedalam bak, Jenan sempat mengelap peluh di pelipisnya sebelum akhirnya ia melangkah kembali.

“Jenan!”

Cowok itu menghentikan langkahnya lalu menoleh pada sang pengemudi motor yang berhenti tepat di sampingnya.

“Oh! Axel” Jenan memberi senyum tipis untuk menyapa Axel.

Walaupun posisi Axel sebagai murid dan posisi Jenan hanya seorang pedagang bakso di kantin, sepertinya Jenan cukup dikenal oleh para murid.

Axel contohnya.

“Mau ke rumah Kalyla?”

Jenan mengangguk “Iya, abis buangin sampah tadi,” jawabnya.

“Bareng sini!” ajak Axel.

Jenan mendengus halus kemudian menggeleng “Gausah bro, gue abis bawa sampah, nanti nggak nyaman. Lagian rumah majikan deket kok.”

Tanpa memaksa Axel mengangguk singkat “Okedeh kalo gitu, ketemu di rumah aja ya.”

Jenan mengangguk mengiringi perginya Axel dengan motornya, kemudian mulai berjalan dengan tujuan yang sama dengan Axel—

Rumah megah di belokan jalan, rumah milik keluarga kaya yang memiliki putri semata wayang bernama Kalyla.

Kalyla Anka Maghenzie.

Gadis yang hidup bak tuan putri itu bersepupu dengan Axel.

Ya, kini kalian tau satu fakta lagi.

Jenan berjalan memasuki rumah melewati pintu samping, kemudian mencuci tangan dan langsung mengambil alat pembersih kaca jendela.

Tugasnya setelah ini adalah membersihkan seluruh jendela yang ada di rumah.

“Ngapain lo kesini?”

Suara melengkik Kalyla sedikit mengejutkan Kenan, untungnya itu bukan perkataan yang ditujukan padanya.

“Galak amat sih, gue mau ketemu nyokap lo juga,” suara Axel terdengar.

“Ck, kenapa? mau ngemis uang lagi?”

“Bacot banget, udah panggilin aja nyokap lo.”

Terdengar decakan pelan dari Kalyla “Mamaaaa, ada Axel nih nyariin!” teriaknya.

Sambil memasang telinga, Jenan mulai membersihkan jendela dikat ruang tamu. Ia tahu seharusnya tidak menguping, tapi—kadang ia tidak sengaja mendengar dan kini menjadi kebiasaan.

Namun sungguh ia tidak pernah berusaha ikut campur atau apapun.

“Gue nggak di suguhin apa gitu? Gue kan tamu,” kelakar Axel.

Kalyla yang sepertinya sedang membaca majalah remaja di sofa mendengus samar.

“Lo setiap bulan kesini buat ngemis uang ke Bonyok gue, masih punya muka buat minta disuguhin minuman?” ujar gadis itu dengan angkuhnya, kemudian ia bangkit dari sofa dan meninggalkan ruang tamu.

Jenan cepat cepat kembali fokus membersihkan jendela.

“Lo!”

Jenan terperanjat saat suara Kalyla terdengar tepat di belakang tubuhnya.

Dengan jantung berdebar, Jenan perlahan menoleh.

“Iya?”

Kalyla melirik singkat ke arah dapur “Kalo udah selesai bikinin gue susu panas, anter ke kamar. Jangan lupa!”

Jenan mengangguk kemudian Kalyla pergi ke kamarnya.

Cowok itu mengusap dadanya lega, ia kira ia tertangkap basah tengah menguping oleh gadis ketus itu.

“Eh kamu Xel, baru pulang sekolah?” tanya seorang wanita dengan pakaian rumah yang elegan. Itu nyonya di rumah ini—ibunya Kalya, tantenya Axel.

“Iya Tante,” Axel bangkit kemudian menyalami tantenya.

“Gimana mama sama adik kamu? Udah mendingan?”

Axel mendesah samar “Belum Tante, Mama masih begitu. Kalo Adek—dia rewel terus, gak mau minum asi orang lain selain Mama. Tapi—”

“Iya Tante ngerti, emangnya Mama kamu nggak mau di bawa ke psikiater?”

Axel menggeleng “Mama kayaknya cuma butuh papa.”

Jenan terkesiap mendengar kalimat dari Axel.

“Sabar ya Nak.”

Axel tertawa garing “Iya Tante”

Sang nyonya Nnampak mengeluarkan ponsel mahalnya kemudian melakukan sesuatu disana.

“Oke, uang bulanan udah Tante transfer. kali ini tante lebihin, coba bawa Mama kamu ke dokter ya?”

“E-eh tante? Gausah, Mama gak akan mau di bawa ke dokter—”

“Dicoba dulu…, ya?” potong wanita itu.

Axel terdiam sebentar, kemudian mengangguk tipis.

“Makasih Tante.”

Wanita itu mengulurkan tangannya kemudian mengusap kepala Axel.

“Kalian bertiga nggak mau tinggal disini aja? Minimal biar adik kamu lebih nyaman.”

Axel mengerjapkan matanya kemudian menggeleng cepat “Gak perlu Tan, kita udah cukup ngerepotin. Ibunya Jenan udah cukup bantu buat ngasuh adek kok.”

Jenan mengangguk pelan, seperti mengiyakan kalimat Axel barusan.

Ibunya bekerja untuk keluarga Axel sebagai pengasuh bayi. Walaupun bayarannya sangat minim, tapi sepertinya keluarga Jenan tak memiliki banyak pilihan.

“Axel pamit Tan,” pamit cowok itu sambil bangkit dan mencium punggung tangan tantenya.

“Iya, hati-hati dijalan,” wanita itu sekali lagi mengusap surai Axel.

“Salam buat Kalyla sama Om—eh? Arora?”

Jenan melebarkan mata saat mendadak Axel merubah gaya bicaranya, ditambah lagi ia menyebut satu nama.

Dengan hati-hati Jenan mengintip keluar jendela. dan benar saja, ia mendapati sosok Arora berdiri di muka pintu.

“Sejak kapan lo tinggal disini? Ini bukannya rumah Kalyla?” suara Arora, terdengar dingin.

Axel mendengus samar, Jenan berani bertaruh bahwa kini Axel sedang mati-matian menahan sikap dinginnya pada Arora didepan tantenya.

“Ini kan rumah tante gue. Y-yaudah tante, Axel pamit,” cowok itu pamit sekali lagi, setelah di iyakan oleh tantenya Axel melewati tubuh Arora.

Mata mereka bertemu sesaat, saling melempar tatapan sinis.

Sejujurnya Axel bertanya tanya mengapa Arora datang, seingatnya Kalyla dan Arora saling mengenal sebatas teman satu bimbel—atau mungkin mereka memang sudah akrab sampai Arora bermain ke rumahnya?

Lihat selengkapnya