Arven tidak ada di minimarket, Sheren sudah memeriksanya.
Sudah hampir setengah jam Sheren berjalan kaki tak tentu arah, ia ingin bertemu Arven namun ia sendiri tidak tahu kemana cowok itu pergi.
Ia tak tahu rumahnya, juga tidak tahu tempat yang biasa dikunjungi Arven selain minimarket tempatnya bekerja.
Sheren melengkungkan bibirnya ke bawah kemudian menumpukan tangan ke lututnya, ini melelahkan.
“Istirahat dulu deh,” gumamnya sambil menyeret tas selempangnya menuju kursi yang terbuat dari kayu alakadarnya.
Ia diam, sambil menyelonjorkan kakinya. Matanya menatap langit yang tertutup kumpulan awan putih, kemudian ia menghela.
“Arven kemana ya? kok dia bolos sih?” gumamnya.
Sheren kemudian merogoh ponsel di tasnya, dan membiarkan tas itu terbuka. Ia sibuk untuk beberapa saat dengan ponselnya, ia hanya menghubungi Sean untuk memberi tahu bahwa ia baik-baik saja.
“Kamu—punya buku ini?”
Sheren mendongak saat mendengar suara seorang wanita yang berbicara padanya.
Wanita paruh baya itu menunjuk ke arah jurnal yang menyembul dari dalam tas milih Sheren.
“Oh iya bu, ini jurnal saya—”
“Astaga! kamu kenal Joko?!” potong ibu itu, ia bahkan meletakkan keranjang yang dibawanya dan duduk si samping Sheren. Wajahnya panik.
“Joko? Siapa bu?” tanya Sheren yang merasa asing dengan nama ‘joko’
“Laki-laki itu! Laki-laki hipnotis yang berbahaya itu! dia memberimu ini kan?! dia bilang ini jurnal dari semesta! Iyakan?!” tanya nya sambil mengambil jurnal itu dan mengacungkan nya di hadapan Sheren.
Sheren terdiam sebentar, apa yang di maksud Joko oleh ibu ini adalah—Namjun.
“M-maksud ibu, Kak Namjun?”
Ibu itu menghela, matanya menatap Sheren dengan panik dan aneh.
“Aku lupa dia selalu hadir dengan nama yang berbeda,” katanya kemudian menelan salivanya dengan sedikit berat.
Wanita itu mengangguk “Apa dia memberi tahu siapa jodohmu? Dan menyuruhmu untuk berjanji, nak?”
Sheren mengangguk.
Sedetik kemudian ibu itu nampak menangis, ia memalingkan wajahnya sebentar dari Sheren.
“Eh! Bu kok nangis?” Sheren panik, gadis itu menyondongkan tubuhnya kemudian mengusap bahu wanita itu.
Ia menoleh dengan matanya yang basah, menatap Sheren dengan tatapan tajam namun ada rasa prihatin juga di dalamnya.
“Nak, apa kamu sudah menemukan dia? jodohmu?” tanyanya sambil memegang kedua bahu Sheren.
Sheren mengangguk “Aku baru mau ketemu sama dia kok bu!”
“Apa kamu—sayang padanya? Apa kamu benar-benar berusaha menepati janji mu?”
Lagi-lagi Sheren mengangguk “Aku lagi usaha biar janjiku bisa ditepati.”
“Oh kasihan!” ibu itu memeluk Sheren kemudian terisak pelan.
Sheren yang masing kebingungan hanya bisa memeluk balik wanita yang sedang menangis.
“Kamu hebat nak! Ibu yakin kamu tidak akan bernasib sama dengan ibu, kamu harus tepati janjimu!”
Sheren mendengarkan.
Wanita itu memegang jurnal Sheren kemudian mengusapnya.
“kalaupun kamu ragu kalau ini benar-benar dari semesta, sebenarnya buku ini akan banyak membantu,” katanya.
“Ini ambillah, katanya kamu harus menemuinya kan?” wanita itu memberikan jurnal Sheren kemudian bangkit dan mengangkat keranjang nya.
“Bu maaf! Darimana ibu tau kalau—”
“Kamu akan tahu nanti, sekarang temui saja dia ya? perbaiki semua kesalah pahaman atau apapun yang menjadi batas di antara kalian,” wanita itu mengusap kepala Sheren kemudian pergi.
Sheren dengan segala kebingungan nya menatap perginya wanita dengan pakaian lusuh itu, kemudian menunduk menatap jurnal di pangkuannya.
Dengan iseng ia membuka jurnal itu dan ia melebarkan mata.
Ada tulisan lain di bawah perintah bahwa ia harus menemui Arven yang ia temukan siang tadi.
‘dengarkan, dan ingat dia yang memiliki kehangatan dan kebaikan’
Itu bunyi pesan yang tertulis disana.
Sheren menghela “Apa sih? Kok semuanya bikin bingung hari ini,” gumamnya kemudian memasukkan jurnal dan ponsel ke dalam tas lalu bangkit.
Ia kembali berjalan tak tentu arah.
Sheren amat kebingungan, setelah mendengar fakta dari Zara siang tadi, ia di pertemukan oleh beragam hal yang membingungkan nya.
Sheren bukan gadis pintar, dan ini semua membuatnya lelah.
Suara Adzan terdengar, ia menatap jam tangan nya “Oh, udah Ashar.”
Ia mengangguk angguk, sedetik kemudian ia melebarkan mata kemudian menghentikan langkah.
“Dengarkan…” gumamnya sambil mengingat petujuk di jurnal.
Sheren tersenyum lebar kemudian mengangguk yakin
“Aku tau kamu dimana Arven!” katanya kemudian berlari pergi.
Pergi menyusul Arven-nya.
✨✨✨
“Aamiin.”
Arven mengusap wajahnya kemudian bangkit, memungut tas dan juga kemeja putih seragam sekolahnya yang ia lepas, kini ia hanya memakai kaus ganti yang dibawanya.
Setelah membolos dari sekolah untuk pertama kalinya, ia pergi kesini dan berbincang dengan Mamanya—Mama Charvi.
Ia melangkah keluar masjid, memakai sepatunya kemudian berjalan menuju kursi tempat biasa Mama nya duduk.
Namun langkahnya terhanti saat melihat Mamanya tidak sendiri, Mamanya sedang ditemani gadis itu.
Mereka berdua berbincang, sedetik setelahnya Sheren menoleh padanya dan mata mereka bertemu.
Matanya langsung berbinar kemudian berlari menghambur ke arahnya,
Sheren memeluk Arven dengan erat. Aroma shampoo Sheren langsung memenuhi rongga hidung Arven yang entah sejak kapan menjadi aroma favoritnya.
“Kangen,” gumam Sheren kemudian mempererat pelukannya.
Perlahan, tangan Arven merambat naik kemudian melepaskan tubuh Sheren. Wajah Sheren bingung karena pelukannya di lepaskan.
“Kok—”
“Jangan begitu disini, gak enak sama jamaah yang dateng.”
Sheren meringis kemudian cepat-cepat menarik tangan Arven.
“Mama! Ini Arven nya udah ada! Sheren culik dulu ya!” ujar Sheren sambil mengambil tas nya kemudian memeluk Mama Charvi.
Wanita hangat itu tersenyum dan mengelus-elus pundak Sheren.
“Ayo Ven!”
Arven berdehem kemudian memeluk mamanya untuk berpamitan.
Mama Charvi nampak berbicara sedikit pada Arven, entahlah Sheren tidak mengerti, namun Arven mengangguk-angguk.
Senyum Sheren sumringah saat Arven menggendong tas kemudian berjalan ke arahnya.
“Ayo!” ujarnya sambil menggandengan Arven—ah tidak, kini ka memeluk lengan nya dengan kencang.
Mereka berdua keluar dari pelataran masjid lalu mengambil jalan trotoar di bawah langit yang sudah mlai teduh.
“Sheren, jangan dipeluk begitu—”
“Sheren lagi kangen Ven, gak boleh ya kalo kangen?” potong Sheren lalu mendongak menatap Arven, tiba-tiba jantung Sheren berdebar saat melihat Arven sedang tersenyum tipis.
“Arven!” sentak Sheren sambil menangkup wajah Arven kemudian menatapnya lekat lekat.
Arven hanya terdiam dengan bingung.
“Senyum lagi! Ayo mana senyum nya?!” kata Sheren.
Arven tergelak kemudian melepaskan tangan Sheren yang menangkup wajahnya.
“Kangen banget sama aku?” ujarnya sambil mengacak pucuk kepala Sheren.
Sheren melengkungkan bibirnya ke bawah lalu mengangguk, ia menghambur ke pelukan Arven sampai-sampai cowok itu sedikit terdorong ke belakang.
“Jangan pergi lagi, Sheren gak suka!” katanya.