“YA AMPUN SHEREN!”
“Sssst! Diem dong! Nanti dia bangun!” tukas Jenan.
Arora hampir menangis melihat Sheren dengan kondisinya yang miris seperti ini, ia mengelus pipi Sheren.
“Astaga pipinya dingin banget, ya ampun matanya sembab! LO APAIN NIH TEMEN GUE BEGO!” tukas Arora sambil menatap Jenan marah.
“Gue lagi, gatau gue liat dua udah begini! Lagian lo kemana sih? Lama banget!”
“LO PIKIR GAMPANG MINTA IJIN BAWA MOBIL TENGAH MALEM GINI HAH?!”
Jenan tertawa kecil “Berisik lo ah! cepetan bukain mobilnya, ini temen lo harus kita pulangin.”
“I-iya juga,” ujarnya kemudian buru buru membukakan pintu mobil bagian tengah.
“Pelan-pelan,”
Jenan berdehem mengiyakan ujaran Arora, dengan perlahan ia menidurkan Sheren di jok bagian tengah mobil Arora.
“Harus kita bawa ke rumah sakit gak ya? takutnya dia abis di apa-apain! Ya ampun Sheren, lo kenapa bisa gini sihhh??” Arora misuh misuh sendiri sambil mengusap rambut temannya ini.
“Gue rasa dia gak apa apa, udah kita pulangin aja,” ujar Jenan sambil mengangkat seluruh barang Sheren yang berserakan dan masuk ke mobil.
“Gue yang nyetir, lo jagain aja Sheren.”
Arora mendelik “Eh? Bisa bawa mobil?”
“Bisa lah!”
“Jangan sampe nabrak! Lecet ganti pokoknya!”
“Galak amat ih,” ujar Jenan sambil menghidupkan mesin mobil.
“Cepet jalan! Ini gue mau ngabarin Sean.”
“Iya siap!”
-
“Papa nggak suka liat kamu begini. Jangan terlalu mikirin Papa, Arven! masa depan kamu lebih penting.”
Arven menghela “Papa juga jangan sedih terus dong, Mama gak usah lagi dipikirin! Berhenti dateng ke rumah papanya Axel! Jangan harapin apa apa lagi dari mereka!”
Pria paruh baya itu terdiam, kemudian menatap putranya dengan sendu.
“Pa? papa denger Arven kan?”
Papanya mengangguk “Jangan khawatir, Papa udah nggak kesana lagi. Tapi belakangan papa sibuk, ada proyek bangunan besar di pinggir kota, papa bakalan jarang pulang.”
Arven mengangguk angguk, itu sama sekali bukan masalah. Memang selama ini ayahnya jarang sekali ada di rumah mengingat pekerjaan nya sebagai Arsitek dengan jadwal yang padat.
Sang papa menatap langit langit rumah besar yang sudah lama mereka tinggali ini.
“Rumah sekarang jadi sepi ya? biasanya ada Mama kamu yang bawel, rajin ngurus rumah, sekarang rumah ini jadi nggak ke urus,” gumam sang papa.
Rumah ini sangat mewah dan besar, bahkan terlalu besar untuk ditinggali bertiga. Apalagi jika Arven harus tinggal sendiri di rumah ini?
“Udahlah Pa, jangan mikirin mama lagi. Biar Arven yang jaga rumah, Papa fokus aja sama kerjaan!”
Papa menggumam, kemudian mengeluarkan sesuatu dari kantungnya.
“Nak, ini,” katanya sambil memberikan sebuah kartu.
“Kamu gak perlu kerja segala, papa ini bisa biayain kamu Ven. Ini ambil!” sambungnya.
Arven terdiam ia tak mengerti mengapa papanya bisa tau kalau dia bekerja.
“Papa tau dari Zara,” ujar papa seakan bisa membaca pikiran Arven.
Arven masih bergeming, bahkan hingga papanya bangkit dan mengusak rambutnya penuh sayang.
“Papa pergi dulu Ven, jaga diri kamu ya? Papa titip rumah, belajar yang rajin, kamu harus jadi orang besar suatu saat nanti.”
Arven mendengus geli “Panjang banget pesan nya.”
Sang papa tertawa “Papa bakalan pergi cukup lama, kita bakalan jarang ketemu.”
Arven bangkit kemudian mencium tangan papanya.
Setelah Papanya pergi, Arven kembali masuk ke dalam rumah.
Hari ini dia tidak minat pergi ke sekolah, dia tidak ingin bertemu Sheren atau dihujani pertanyaan menyangkut Sheren dari Arora.
Ia membereskan meja makan kemudian melangkah menuju kamarnya.
Sungguh Arven lelah, hidupnya sudah sangat kacau sekarang. ia membaringkan tubuhnya pasrah di tembat tidur.
Semenjak semalam ia selalu terpikir Sheren yang ditinggalkannya begitu saja di trotoar. Muncul rasa khawatir dari dalam dirinya, takut Sheren ditemukan oleh orang jahat.
Mati-matian ia menahan dirinya untuk tidak memutar arah dan kembali menghampiri gadis itu untuk mengantarnya pulang, sungguh itu sulit.
Arven mendecih “Jodoh katanya? Memangnya dia tau dari mana?” gumam Arven mengingat ucapan Sheren semalam.
“Argh!” geramnya sambil mengacak rambut, ia frustasi karena pikirannya dipenuhi nama Sheren sekarang. benaknya pun tak henti-henti terbayang wajah cantik Sheren yang sedang tersenyum padanya.
“Sialan, ini sulit.”
Arven bangkit kemudian merampas jaketnya yang tergantung di belakang pintu, ia berniat untuk keluar mencari udara segar.
“Hah? apa ini?” gumamnya saat melihat daun berwarna ungu kemerahan menyembul dari sakunya.
Saat ia hendak merogoh daun itu, tangannya merasakan benda lain yang ada di kantungnya.