Arven menatap lurus menatap garis horizon, pemandangan yang sangat indah bagai dilukis.
Namun semua itu buram di mata Arven, ah ini ulah cairan bening yang mulai meendominasi kedua bola matanya.
Berita itu sudah sampai padanya, berita soal kecelakaan ayahnya yang menyebabkan ia menyandang status Yatim sekarang.
Ia sama sekali tidak berminat untuk mengunjungi pemakaman, berita itu sampai 30 menit setelah ayahnya dikubur, sudah terlamabt baginya untuk meraung memeluk jasad sang ayah dan memintanya untuk bangun.
Sudah seharian ini ia berada di pantai, langitpun sudah mulai gelap, sepertinya karena langit mendung.
Ini sempurna, biarlah hujan turun dengan deras agar ia bisa ikut menangis bersama langit. Pikir Arven.
Sungguh hatinya remuk, hidupnya sudah benar-benar hancur sekarang. Tak ada lagi keluarga baginya, tapi ada lagi yang dapat dibanggakan, bahkan harga dirinya.
Ombak-ombak kecil berlomba menuju pantai, Arven menunduk menatap kakinya yang disentuh oleh ombak halus, kemudian ombak itu kembali ke laut.
Ia tersenyum kecil, perlahan-lahan ia mulai melangkahkan kakinya mengikuti ombak itu ke laut.
“Laut,” gumamnya sambil tersenyum menatap hamparan laut lepas.
Tanpa sadar air laut sudah merendam kakinya hingga betis. Ia menunduk menatap kakinya yang telah basah, kemudian memercik mercikan air dengan tangannya.
Tubuhnya mulai terombang-ambing ombak laut, air sudah merendamnya hingga paha.
Arven menghirup udara dalam-dalam kemudian membuangnya sambil tersenyum.
Byurr
Satu ombak menerjangnya hingga tubuh Arven sedikit oleng, dengan seluruh tenaga yang ia punya ia teris melangkah melawan arus ombak.
“Arven!!!”
Grep