Sasmita sudah terlalu kejam untuk mereka. Kini mereka berdua bersekolah di SMA sederhana dekat masjid yang kini menjadi masjid kesukaan Sheren.
Tidak ada Arora, Reon, ataupun Sean. Benar-benar hanya mereka berdua dan teman-teman baru yang terbuka.
“Arven! Nanti bolos yuk! Kita jalan-jalan ajaa…..” ujar Sheren sambil menumpukan tangannya ke meja Arven.
Cowok yang sedang sibuk dengan soal soal itu mendongak kemudian mencubit hidung Sheren gemas.
“Udah kelas 12, masih mau bolos? Katanya mau masuk Universitas bareng,” katanya.
Sheren merengut “Bolos les sekali sekali doang kok ven, ya?” Sheren kembali memelas.
“Mau kemana emang?” tanya Arven.
“Keliling-keliling aja, terus nanti mampir ke tukang nasi goreng!” ujar Sheren sambil tersenyum senang.
Arven mendengus “Iya oke.”
Sheren melebarkan mata “Serius gitu doang? Biasanya kalo diajak bolos susah!”
Arven tertawa kecil “Ada yang mau aku omongin sih, sekalian aja jadinya,” ujar Arven sambil membereskan buku dan alat tulisnya.
“Loh mau ngapain?”
“Aku ada kelas tambahan Matematika, mau ikut?”
Sheren menggeleng cepat “Aku mau ke ruang musik, main piano.” Sheren meringis kemudian tersenyum manis.
“Oke, sampe ketemu.” Arven mengusak kepala Sheren pelan sambil melempar senyum manis.
Mata Sheren menatap punggung Arven yang melewatinya, sampai punggung itu menghilang dibalik pintu.
Ia tersenyum kecil, perlaakuan sederhana seperti itu selalu membuat jantung Sheren turun ke perut. Mau sampai kapanpun ia tidak akan terbiasa dengan perilaku Arven barusan.
Sheren berdecak kecil, sambil menepuk-nepuk pipinya agar mengembalikan kesadarannya.
Gadis itu mengambil buku musiknya, lalu seperti katanya tadi ia menuju ruang musik.
Hampir satu tahun semenjak kepindahannya ke sekolah ini, kalau boleh jujur hidupnya jauh lebih indah disini.
Walaupun tak ada Reon, Arora yang selalu menemani dan menjaganya, juga Sean yang menjadi sosok adik yang dewasa baginya.
Namun dengan begini, Sheren belajar untuk lebih mandiri dan bertanggung jawab.
“Rawnie!”
Suara dentingan piano berhenti, gadis dibalik alat music itu mendongak kemudian melambaikan tangan.
Itu Rawnie, gadis berambut sebahu itu menggeser duduknya membiarkan Sheren duduk di sisinya.
“Tumben kakak kesini, nggak ikut tambahan?” ujar Rawnie sambil meregangkan jari-jarinya.
Sheren mengggeleng “Bolos dong, lagian hari ini tambahan Inggris, udah bisa gue!” kelakar Sheren sambil menatap adik kelasnya itu.
Rawnie tertawa kemudian merogoh sakunya mengambil ponsel.
Dentingan piano yang Sheren mainkan mengalun indah. Sesekali Rawnie menatap kagum jari-jari Sheren yang dengan lincah menari di atas piano.
“Eh iya kak, ulang tahun kak Reon 3 minggu lagi. Rencananya mamah mau bikin acara di Gedung, dateng ya!” ujar Rawnie.
Sheren menghentikan permainannya kemudian tergelak “Udah kayak sweet 17 aja di Gedung.”
“Tau si mamah, katanya biar berkesan.” Rawnie dan Sheren tertawa.
Sama halnya seperti Sheren mengenal Reon, Sheren juga mengenal Rawnie sejak lama. Sama seperti Reon dan Sheren, Sean dan Rawnie juga bersahabat sejak kecil.
Dan kini, Sheren dan Rawnie ada di sekolah yang sama.
“Kak Sheren kenal Gauri?” Rawnie bersuara.
Sheren menoleh kemudian mengangguk “Anak IPS di Sasmita, lo kenal dimana?”
Rawnie menjulurkan ponselnya, menunjukkan stories dari social media Gauri.
“Dia pacarnya Sean?” tanya Rawnie.