“Sherenia, ayo masuk.”
Aku menenggak ludah kemudian dengan tubuh bergetar aku duduk di kursi penumpang.
Mobil dijalankan olehnya, aku tak tahu akan dibawa kemana namun aku tak berani bertanya.
Sepanjang perjalanan tak ada yang bersuara, kami benar-benar diam.
Aku terus menunduk menatap tanganku, karena takt ahu lagi apa yang harus kulakukan.
Beberapa menit kemudian, kami sampai di sebuah Cfe yang tak aku kenali. Café ini sepi, dan tidak terlalu besar.
Begitu masuk, seorang pelayan membawa kami ke lantai atas, ia mengarahkan kami ke sebuah meja yang sudah tertata beberapa makanan.
Aku duduk di hadapannya, kami sama-sama diam, tidak berbicara selama beberapa menit. Aku tidak ingin memulai pembicaraan, dan kurasa ia sedang merangkai kata.
“Apa terlalu Klise kalau aku langsung tanya kabar?” suaranya.
Sungguh aku ingin betreriak, aku tak ingin munafik sekarang, aku benar benar rindu suaranya.
Aku menggeleng.
“Oke, apa kabar kamu Sherenia?”
“Baik, Kamu?”
Arven tertawa singkat “Tidak pernah baik,” katanya.
Aku mendongak “Kok gitu?”
“Aku nggak bisa tenang, aku nggak tau gimana kabar kamu? kuliah dimana kamu sekarang? kamu bahagia atau tidak? dan—apa kamu benci padaku atau tidak?” Katanya.
Aku tertegun mendengarnya, kemudian aku bersiap untuk membuka mulut.
“Aku baik Arven, aku berhasil kuliah di Universitas yang waktu itu kita targetin, aku bahagia, dan aku nggak benci sama kamu.” Jawabku.
“I see, kamu menjadi lebih cantik, pasti kamu bahagia.”
Wajahku memerah.
Arven memunculkan seulas senyum kemudian ia menatapku.
“Maaf karena sudah pergi Sheren, maaf karena pergi tanpa pamit, maaf karena sempat buat kamu sedih.” Katanya.
Aku mendengarkan.
“Aku nggak sempet pamit, aku bahkan nggak sempet bilang terima kasih.”
“Terima kasih?”
Arven mengangguk. “Karena kamu benar-benar telah menjadi obat terbaik yang membuat hidupku kembali normal, kamu benar-benar mengobatiku.”
Aku masih terdiam, merutuki diri sendiri yang sudah mulai ingin menangis.
“Aku minta maaf. Aku pernah bilang, Kalau kamu sudah jadi milikku, kamu tak akan aku lepaskan. Kalau kamu sudah kubiarkan untuk mengobati luka-luka ku, kamu tak akan kubiarkan terluka oleh siapapun. Tapi ternyata malah aku yang melukai kamu.”
Aku mengontrol diriku sendiri dan berusaha tersenyum.
“it’s okay Arven, semua udah berlalu. Aku sudah baik baik aja.”
Arven mengangguk lalu menatapku lagi “Aku bisa liat kamu bahagia sekarang, dan aku senang.”
“Maaf Sheren, aku datang bukan untuk pulang padamu, aku tahu diri, aku senang melihat kamu sudah dimiliki pria lain yang lebih bertanggung jawab.”
Walau berat aku mengangguk seakan mengerti.
“Aku nggak tahu kapan kamu menikah Ven, maaf aku nggak dateng.” Kataku walaupun sakit setengah mati.
Arven tertawa singkat “Aku belum menikah Sheren,” katanya.