Enji menjatuhkan dirinya di lapangan basket yang terkena bayangan pohon bungur. Cowok berseragam basket yang basah karena keringat itu merebahkan tubuh lelahnya di sana sambil merentangkan keduanya tangannya. Ia mengusap rambut bagian depannya ke belakang seraya mengatur napasnya yang putus-putus. Erangan panjang keluar dari bibirnya yang mulai pucat dan pecah-pecah. Tangannya memegang perutnya yang agak mual. Penyesalan muncul dalam dirinya karena malah terus bermain basket padahal perutnya belum terisi siang ini. Rasanya ia mau sekarat.
Sambil meringis dan tanpa bangkit dari posisinya, Enji mengedarkan pandangannya ke sekeliling lapangan. Teman-temannya sudah pulang semua. Ini gara-gara dirinya terlalu mencintai olahraga ini. Ia menolak saat teman-temannya mengajaknya istirahat dan makan. Kesenangannya akan olahraga ini membuat Enji mengabaikan semuanya.
Ia tidak boleh pingsan. Ia harus minum.
Dengan mengerahkan tenaganya yang tidak seberapa itu Enji bangkit berdiri. Tertatih-tatih ia berjalan menuju kelasnya yang menghadap ke lapangan. Tidak jauh, ia pasti bisa ke sana untuk mengambil minumnya sebelum tubuhnya ini ambruk.
Wajah Enji sudah pucat pasi. Keringat dingin keluar dari pori-pori kulitnya. Kakinya gemetaran. Matanya yang sipit menatap kabur lantai keramik di depannya. Kelasnya sudah terlihat. Kini ia sudah sampai. Sudah sampai. Bruk! Tubuh cowok tinggi itu jatuh tepat saat dirinya sampai di ambang pintu kelas.
***
Luna yang semula berdiri di balik tiang kelas berlari saat Enji jatuh dengan posisi tengkurap di atas lantai yang berdebu. Ia langsung membalikkan tubuh Enji yang baginya cukup berat itu. Jari telunjuk Luna yang mungil didekatkan ke bawah hidung Enji. Syukurlah, masih bernapas. Luna mungkin akan gila kalau cowok ini tak bernapas lagi.
Ia tidak mungkin membiarkan Enji tergeletak di lantai keramik yang dingin ini terus. Luna akan memindahkannya ke bangku yang ada di kelas XI IPS 1 tersebut. Cewek berambut lurus sepundak tersebut bangkit dengan cepat, kemudian berjalan menuju kursi yang berada di deretan depan sebelah kanan. Ia mendekatkan dua kursi yang ada di bagian depan paling pojok, kemudian menoleh ke arah Enji. Cowok itu tinggi, berarti tambah satu kursi lagi saja supaya bisa untuknya berbaring. Walaupun mungkin nanti kaki cowok itu akan sedikit menggantung.
Setelah menata kursi, Luna menghampiri Enji. Ia berlutut di belakangnya, lalu menyisipkan kedua lengannya ke ketiak Enji. Cewek bertubuh mungil itu kewalahan saat ingin menarik Enji ke atas. Cowok ini sangat berat baginya. Luna sampai ngos-ngosan. Ia menarik napasnya dalam-dalam dulu, kemudian mengembuskannya dengan perlahan. Sambil mengucap doa, ia menyisipkan lengannya ke ketiak cowok itu lagi, menguncinya di depan dada, lalu dari posisi berlututnya cewek itu bangkit berdiri. Karena membopong Enji adalah hal yang mustahil baginya karena ia tidak kuat, Luna menggeret cowok itu. Maaf, katanya dalam hati. Dengan susah payah akhirnya ia berhasil merebahkan Enji di atas kursi.
Luna diam sebentar untuk mengatur napasnya yang ngos-ngosan. Ia lalu merapikan pakaiannya serta pakaian Enji yang agak berantakan terlebih dahulu, kemudian mengeluarkan minyak kayu putih dari tasnya. Ia mengoleskan minyak tersebut ke dahi dan bawah hidung Enji. Ia agak ragu saat hendak mengoleskan ke perut cowok itu. Ia menoleh ke arah lain dengan wajah memerah. Ragu-ragu ia menyingkap kaus cowok itu. Namun, akhirnya ia melakukannya juga, dengan menutup matanya. Lalu membukanya sedetik kemudian. Jantungnya bagaikan meloncat ke perut saat jarinya menyentuh kulit perut cowok tersebut. Ia bahkan menahan napas saking gugupnya. Ia melakukannya cepat-cepat karena sangat gugup dan takut kalau Enji tiba-tiba bangun.
Luna ingin Enji cepat sadar, tapi ia tidak ingin cowok ini sadar saat ia masih di sini. Maka setelah selesai mengoleskan minyak kayu putih ke perut, lalu meletakkannya di meja yang berada di samping cowok itu, Luna kemudian bangkit berdiri, bersiap pergi. Kemungkinan cowok ini masuk angin karena perutnya kosong. Setelah sadar, lalu minum minum dan makan, cowok ini akan pulih kembali. Makan! Luna punya dua roti di tasnya. Ia segera mengeluarkannya dan menaruhnya di meja. Mata bulat cewek itu melirik tas Enji yang ada di bangku kedua yang berada di tengah. Ada botol minum di sana dan isinya masih banyak. Berarti untuk minum sudah aman. Oke, saatnya Luna pergi.
***
Mata sipit Enji terbuka perlahan. Ruangan di mana dirinya berada agak gelap. Matanya melihat ke sekitar dengan bingung. Ia bangkit untuk duduk dengan perlahan. Ia diam sejenak untuk memulihkan kesadarannya. Bola matanya terbuka lebar setelah sadar sedang berada di mana. Ia makin terkejut lagi setelah sadar ada yang mengoleskan minyak kayu putih di hidung, dahi, dan perutnya. Ia kemudian mendekatkan wajahnya ke minyak kayu putih dan roti yang ada di meja. Punya siapa ini? Siapa yang menolongnya? Ia meraih minyak kayu putih di atas meja, lalu mendekatkan ke hidungnya. Samar-samar ia mencium bau parfum cewek. Kalo hidungnya tidak salah.
Cowok tersebut menoleh ke jam dinding yang ada di kelasnya. Pukul enam kurang lima belas menit. Pantas saja sudah mulai gelap gulita.
Ia merasa tubuhnya lemas dan sangat lapar, juga haus. Enji bangkit berdiri dan berjalan ke kursinya untuk mengambil tas. Setelah duduk di kursi semula ia langsung membuka tutup botol minumnya lalu menenggak isinya banyak-banyak. Cowok itu mengusap bibirnya yang basah akan air minum sambal mendesah lega. Tubuhnya sudah mulai mendingan. Air memang sumber kehidupan.
Enji agak ragu-ragu saat hendak mengambil roti di atas meja. Namun, ia kemudian menggeleng sambil menertawakan dirinya sendiri. Orang ini menolongnya, jadi tidak mungkin ia mau mencelakai Enji dengan roti yang ada.
Dengan cepat khas orang kelaparan, Enji melahap roti rasa cokelat tersebut. Sambil mengunyah makanan itu ia bertanya-tanya siapa yang menolongnya. Teman-temannya sudah pulang semua. Tadi di kelas ini pun kalau ia tidak salah lihat tidak ada orang. Tiba-tiba kunyahannya pada roti terakhir yang ada itu terhenti. Cowok keturunan Jepang itu bergidik sambil melihat sekitar yang sudah hampir benar-benar gelap dengan ngeri. Bukan hantu, kan? Bukan! Dirinya membantah dan mengusir pikiran bodoh itu jauh-jauh.
Mana ada juga hantu yang menolongnya seperti ini. Enji yang sedang mengunyah roti itu tertawa geli sampai giginya terlihat. Ia berdehem, mengontrol dirinya agar berhenti tertawa dan fokus makan dulu. Ia memutar tubuhnya yang semula membelakangi pintu menjadi menghadapnya. Ia melihat ke seluruh area sekolah yang dapat dilihat dari tempatnya berada. Tak ada satu pun orang terlihat. Ya wajar, ding. Ini kan sudah mau magrib.
Setelah menelan potongan roti terakhir, Enji mengambil ponsel yang ada di tasnya. Ia mengirimkan pesan ke grup basket sekolahnya.
BASKET SMA MENTARI