Pintu kamar mandi terbuka, Enji keluar dari sana sambil mengusap rambut basahnya menggunakan handuk kecil sambil bersenandung riang. Ia hanya memakai celana pendek selutut tanpa mengenakan baju. Cowok itu menghampiri abangnya yang tengah duduk di sofa ruang TV sambil bermain game online di ponsel. Enji ikut mengumpat kala abangnya yang bernama Ito itu mengumpat karena kalah bermain. Enji tertawa sambil mengusap-usap rambutnya dengan handuk saat Ito mendelik ke arahnya. Ia lalu duduk di sebelah kanan abangnya tersebut.
"Tumben pulang malem lo," kata abangnya.
Mata Enji berbinar saat mendengar pertanyaan itu. "Nah itu! Gue mau cerita tentang itu!"
Ito meletakkan ponselnya di atas sofa, lalu menatap Enji dengan alis kanan terangkat. "Apaan?"
Enji berdehem beberapa kali terlebih dahulu. Bibirnya melengkungkan senyum samar. Wajahnya yang telah bersih sehabis mandi terlihat kemerahan. "Jadi, begini, tadi kan …." Dan mengalirlah cerita sore tadi di sekolah.
Ito mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia tertawa saat mendengar sesuatu yang menurutnya lucu. Cowok yang kini duduk di bangku kelas tiga SMK itu terdiam setelah Enji selesai menceritakan kisahnya tadi sore. Ia membaca keseluruhan pesan chat Enji dengan teman-temannya saat cowok itu memperlihatkan padanya.
"Siapa ya, Bang, yang nolongin gue?" tanya Enji pada Ito.
"Penjaga sekolah kali," tebak Ito asal.
Mata Enji yang sudah sipit bertambah sipit saat mendengar penuturan abangnya itu. "Penjaga sekolah gue cowok, Bang."
"Ya siapa tau aja dia suka pake parfum cewek.”
"Nggak mungkin! Dia bapak-bapak gitu."
"Ya kayak yang lo bilang sama temen-temen lo, sapa tau cuma parfumnya doang yang cewek!" Cowok berambut cepak itu tertawa terbahak-bahak saat membayangkan dengan telaten seorang bapak-bapak mengoleskan minyak kayu putih ke tubuh Enji.
"Geli gue," kata Ito setelah mengutarakannya pada Enji yang ekspresi wajahnya langsung berubah masam.
"Nggak mungkin, ini terlalu manis kalo yang nolong bapak-bapak." Enji mematahkan dengan yakin dugaan menggelikan abangnya. "Kalo yang nolong bapak-bapak, kata gue mah dia bakal nungguin gue sampe sadar."
Alis kanan Ito terangkat tinggi saat adiknya dengan yakin mengatakan itu. "Terus kalo ini?" tanyanya.
"Dia kayak malu-malu gitu, Bang."
Ito tertawa keras. "Malu-malu apa sih, JI! Jadi Menurut lo, yang nolongin lo ini cewek?"
Enji mengangguk yakin.
"Elo punya cewek nggak, sih?" Abangnya bertanya.
"Nggak punya, tapi …."
"Apa?"
"Oke, gue bakal cerita lagi, Bang. Ada cewek yang gue suka, Bang, tapi gue lupa mukanya gimana."
Lagi, Ito tertawa terbahak-bahak. Ia menepuk kepala adiknya saking tak tahan dengan 'keajaiban' adiknya itu.
Enji hanya cengar-cengir dan mengusap kepalanya yang ditepuk oleh kakaknya itu. Ia juga ikut tertawa meski tak seheboh kakaknya. Ya, memang begitu adanya. Ia lupa bagaimana wajah cewek yang sampai sekarang masih menempati hatinya itu. Walaupun kehadirannya di hatinya tidak selalu ia rasakan serta tak sepenuhnya menyita perhatiannya. Ia ada di hatinya. Saat sendirian atau tak melakukan apa-apa, Enji terkadang teringat dengan cewek itu. Ia memang tidak mengingat wajahnya, tapi samar-samar, Enji ingat ia adalah cewek mungil berambut lurus sebahu. Dan ada lagi dari diri cewek itu yang ia ingat, kali ini dengan jelas olehnya.
"Tapi ada yang gue inget dengan jelas dari dia, Bang," ungkapnya.
"Apa tuh?"
"Matanya---"
"---belekan?"
"Bukan! Matanya itu bersih, jernih, dan waktu itu, gue inget banget gue liat dia waktu upacara penerimaan peserta didik baru, waktu kelas satu SMA, gue sempet tatapan bentar sama dia, Bang! Cuma bentar banget, keknya cuma tiga detik abis itu doi langsung balik badan, terus ilang di kerumunan siswa!" papar Enji dengan menggebu-gebu.
"Hmm, takut keknya dia sama elo."
Enji menyipitkan matanya, merasa tidak yakin. "Masa, sih? Padahal gue ganteng dan lucu gini."
Ito mengernyitkan dahi dengan tampang jijik.
"Lho, emang gue ganteng, kok! Buka dong mata lo lebar-lebar!" seru Enji.
Ito menggeleng-gelengkan kepalanya.