Because I Love You

Nur Afriyanti
Chapter #3

Bukan Punyamu, 'Kan?

Luna baru sadar kalau gantungan kunci kesayangannya tidak ada saat keesokan harinya setelah menolong Enji. Ya, gantungan kunci berbentuk bunga matahari yang dibelikan oleh almarhum mamanya saat dirinya masuk SMP! Ya, ampun! Kenapa bisa jatuh, ya? Apa pengait gantungannya sudah rusak? Dan di mana benda itu jatuh? Seingatnya, waktu pulang sekolah gantungan itu masih ada.


Luna berangkat pagi-pagi sekali, menuju kelas Enji untuk mencari benda itu, tapi ia tidak menemukannya di mana-mana. Luna juga berkeliling sekolahan untuk mencarinya, tapi tidak juga menemukannya. 


Ah, sayang sekali kalau benda itu tidak ia temukan. Itu salah satu benda penting dalam hidupnya.


Luna merebahkan kepalanya ke meja perpustakaan dan menutup wajahnya dengan novel sejarah yang tengah ia pinjam. Ia menjadi lemah dan lesu karena ini. Tiba-tiba ia menyingkirkan buku dari wajahnya saat mendengar senandungan seseorang. Ia hafal benar suara seseorang itu. Itu suara … Enji.


Cowok itu berjalan melewati bangku yang didudukinya menuju rak tempat novel-novel berada. Enji melihat-lihat deretan buku yang tersusun rapi di rak sambil mengetuk-ngetukkan jarinya di dagu. Samar-samar masih terdengar senandungan kecil yang keluar dari bibir tipisnya. 


Enji menjentikkan jarinya saat menemukan buku yang sedang ia cari. Cowok yang memakai kaos olahraga itu membuka buku yang dipegangnya, membacanya sebentar, lalu menutupnya dan berjalan menuju deretan kursi yang ada. Tepatnya, ke deretan kursi yang diduduki oleh Luna!


Luna yang tadinya diam-diam memperhatikan Enji langsung menunduk, pura-pura membaca buku. Jantungnya bagaikan melompat ke perut saat Enji menuju kursi yang berada selang satu kursi di samping kanannya, kemudian duduk manis di sana. Seolah ada ribuan kupu-kupu di perut Luna saat ini. Ia ingin pergi karena kehadiran Enji di dekatnya membuat detak jantungnya jadi tidak stabil, tapi ia sangat gugup dan juga terkejut sampai kesulitan bergerak.


Karena pergi dari sini masih mustahil bagi Luna, ia memilih menenangkan dirinya saja. Sambil menunduk dan menyembunyikan wajah dengan buku yang dipegangnya, ia mengatur detak jantungnya yang menggila supaya berdetak normal lagi. Ia diam, Enji juga diam. Beberapa menit kemudian, terdengar Enji menutup buku yang tadinya ia baca dan meletakkannya ke meja.


Luna melirik Enji lewat ekor mata, cowok itu mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Luna memberanikan diri melihat sesuatu yang Enji pegang. Hanya beberapa detik, kemudian Luna menunduk. Ia merasa tak asing dengan benda yang dipegang Enji. Dengan hati-hati, cewek yang wajahnya bersemu merah itu melihat lagi ke ke arah benda yang dipegang Enji. Matanya membulat sempurna saat melihat dengan jelas benda yang tengah dipegang dan dipandangi oleh Enji itu.


Gantungan kuncinya!


Ya, tidak salah lagi, itu gantungan kunci bentuk bunga matahari miliknya. Ternyata ada di tangan cowok ini. Sepertinya memang terjatuh di kelas Enji saat dirinya menolong cowok itu.


Bagaimana Luna mengambilnya, ya? Lalu, apa yang harus ia katakan jika nanti Enji bertanya: Kenapa bisa terjatuh di kelasnya? Apa yang ia lakukan di kelasnya? Dan apakah benar gantungan ini miliknya?


Apa ia biarkan saja benda itu dimiliki Enji? Tapi, sayang ….


Tanpa sadar, Luna menatap gantungan kunci di tangan Enji secara terang-terangan. Ia tak lagi menunduk dan wajahnya tidak ia tutupi dengan buku lagi. Ia sedang berpikir bagaimana membuat benda itu jatuh ke tangannya lagi. 


Enji merasa diperhatikan. Ia menoleh ke ke kiri, dan langsung menangkap basah seorang cewek yang tengah menatap gantungan kunci di tangannya. Ia menyipit heran melihat cewek itu.


“Hey,” tegurnya. 


Luna langsung terkesiap mendengar teguran dari Enji. Ia membuang wajah ke arah lain sambil meneguk ludah dengan gugup. Kedua tangannya yang berada di pangkuan berkeringat dingin. Cewek itu menyalahkan dirinya yang malah terang-terangan menatap gantungan kunci di tangan Enji. Pasti Enji curiga melihat aksinya ini.


Bibir Enji tertarik ke atas membentuk senyum kecil melihat cewek yang tampak tegang itu. Ada apa sih dengan cewek mungil ini? Tadi ia melihat gantungan kunci di tangannya dengan lekat. Dengan pandangan yang … Enji sendiri tidak dapat mengartikannya.


“Kenapa serius banget ngeliat gantungan kunci gue?” tanya Enji dengan nada dibuat senormal mungkin supaya tidak terlihat ia sangat ingin tahu.


Luna tak langsung menjawab. Ia bingung harus menjawab apa. Ditambah lagi ia gugup berat. Ini pertama kalinya Enji berbicara padanya! Apa dia tidak usah menjawabnya saja? Apa Luna menggeleng saja? Menggeleng lalu pergi dari perpustakaan? Eh, tapi itu tidak sopan!


Enji menunggu jawaban Luna dengan sabar, tapi cewek itu tidak membuka suara juga. Ia masih melihat ke arah lain, dengan wajah yang terlihat tegang. Berkali-kali menelan ludah dengan gugup. Bahkan wajahnya sedikit memerah! Enji hampir tertawa saat melihatnya? Kenapa sih cewek ini?


Mungkin, Enji harus lebih lembut lagi ya menanyainya? Mungkin cewek ini mengira dirinya marah.


Enji menggeser kursinya lebih dekat ke kursi Luna. Membuat jantung cewek itu yang sudah berdegup kencang, bertambah kencang lagi. Bau parfum yang digunakan Enji tercium jelas di indra penciumannya. Tubuh Luna semakin sulit digerakkan. Ia menggigit bibir bawah bagian dalamnya saat Enji berdehem. Aduh, mau apa cowok ini?


Enji memusatkan perhatiannya pada Luna. Posisi duduknya yang semula menyamping kini menghadap ke arah cewek itu. 


“Aku nggak marah, kok. Cuma mau tau aja kenapa kamu ngeliatin gantungan kunciku,” katanya, melirik gantungan kunci yang ia pegang, kemudian melanjutkan, “lekat. Dengan pandangan yang … sulit diartikan.” Tanpa sadar Enji menggunakan aku-kamu ketika berbicara dengan Luna.


Karena gantungan kunci itu punyaku, jawab Luna dalam hati. Ya, ampun, dia harus menjawab apa, ya? Mata Luna jelalatan ke segala arah. Apa, ya? Apa, ya?


“Emm … gantungan kuncinya bagus,” jawab Luna setelah memutar otaknya beberapa menit. Dahinya yang putih sampai berkeringat saat mencari jawaban itu. Ia menjawab tanpa memandang Enji. 


“Masa, sih?”


Luna mengangguk patah-patah.


“Liat sini geh jawabnya, biar aku tau kamu bohong atau nggak,” kata Enji, disusul tawa kecil.


Benar. Bicara dengan orang tanpa melihat wajahnya juga tidak sopan. Tapi ….


Dengan perlahan, Luna menoleh pada Enji. Matanya bertatapan dengan Enji, tapi hanya sebentar. 


“Menurut kamu ini bagus?” tanya Enji sambil mengangkat gantungan kuncinya.


“Iya,” jawab Luna sambil berusaha menatap mata Enji. Setelahnya ia menatap ke arah lain.

Lihat selengkapnya