Enji tertawa sambil mengibaskan tangannya. “Bercanda,” katanya.
Luna ikut tertawa. Cewek itu membuang napas lega diam-diam. Pertanyaan Enji tadi lagi-lagi membuat jantungnya seolah melompat ke perut.
Bel tanda jam istirahat habis berbunyi nyaring. Enji memasukkan gantungan kunci ke saku celananya dan berdiri. Ia menoleh pada cewek yang masih duduk di kursi dengan wajah kaku itu.
“Yuk, bareng ke kelas,” ajaknya.
Luna mendongak menatap Enji. Dengan wajah yang bersemu merah, ia menggelengkan kepalanya. “Duluan aja,” katanya. Luna ingin menetralkan detak jantungnya dulu.
“Nanti dihukum lho, terlambat masuk kelas.” Enji memperingati dari lubuk hatinya yang paling dalam.
“Ya udah kamu sana buruan masuk kelas,” kata Luna mempersilakan.
“Terus, kamu?” Mata Enji menyipit heran.
Aduh, Luna harus menjawab apa? Mata cewek itu bergerak gelisah ke segala arah. Melihat deretan novel di rak buku, ia menjawab, “Ada novel yang mau aku cari dulu.” Ia lalu bangkit menuju rak buku sambil membawa novel yang tadi ia pinjam.
Pandangan Enji mengikuti Luna yang berjalan ke rak buku, menaruh novel yang tadi ia pinjam, lalu sekarang sibuk menelusuri deretan novel entah mencari novel apa. Entah kenapa Enji terkekeh kecil. Kenapa tidak dari tadi coba? Sekarang sudah masuk. Gara-gara berbincang dengan dirinya tadi mungkin, ya?
Enji melirik jam dinding di perpustakaan. Sudah lima menit berlalu setelah bel masuk tadi berbunyi. Cewek itu masuk berkutat dengan rak buku. Ia ragu-ragu mau meninggalkannya. Entah kenapa ia merasa tidak enak kalau meninggalkannya sendirian. Murid-murid yang masih ada di sini tinggal mereka saja.
Cowok itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Merasa bingung. Luna masih ada di depan rak. Malah sekarang ia sudah pindah rak dan tak terlihat oleh Enji lagi.
Enji memutuskan menghampiri Luna. Ia akan membantu cewek itu mencari novel yang tengah ia cari. Cowok itu celingak-celinguk mencari keberadan cewek yang tak terlihat olehnya itu lagi. Setelah menemukannya di rak paling pojok, sedang berjongkok sambil melihat ke arah rak, Enji buru-buru menghampirinya. Tanpa berkata-kata, Enji ikut jongkok di samping Luna.
“Nyari novel apa, sih?”
Luna menjerit kaget karena pertanyaan Enji itu. Jantungnya bener-bener seolah ingin copot setelah mengetahui Enji berjongkok sangat dekat di samping kirinya. Ia berdiri dan menjauhi Enji beberapa langkah.
Enji tak menyangka kalau Luna akan kaget karena pertanyaan dengan sedemikian rupa. Ia mengusap tengkuknya sambil menundukkan kepala. “Aduh, maaf, ya. Aku kayak setan ya sampe kamu kaget kayak gitu?”
Luna tertawa kecil mendengar pertanyaan Enji. Ia menggelengkan kepalanya. “Kamu nggak kayak setan, cuma aku kaget aja tiba-tiba ada orang.” Dan orangnya kamu! Luna tak menyangka Enji masih ada di sini. Padahal ia menunggu Enji pergi duluan ke kelasnya.
“Maaf, ya. Kamu nyari novel apa, sih? Aku mau bantu, biar kamu cepet balik ke kelas.”
Apa?! Enji mau membantunya?! Kenapa?! Enji mengenal Luna saja tidak. Kenapa mau repot-repot? Aduh, Enji, kenapa kamu selalu saja membuat wajah Luna yang jenisnya putih itu memerah? Dan selalu saja membuat jantungnya berdetak tidak karuan?
“Luna?” panggil Enji.
Luna yang tak sadar malah menunduk itu mendongak menatap Enji dengan mata membulat kaget. Lagi-lagi Enji membuatnya terkejut! Dari mana cowok ini mengetahui namanya?
“Liat di name tag kamu,” kata Enji, menjawab tatapan terkejut cewek itu. Ia lalu tertawa. “Kamu orangnya kagetan, ya. Lucu ngeliat ekspresinya.”
Luna tertawa malu sambil memalingkan wajahnya ke deretan novel di rak. Ia tidak tahu sudah semerah apa wajahnya sekarang. Inikah yang namanya baper alias bawa perasaan? Luna baper dengan cowok yang … ia sukai diam-diam ini.
Ya, selama ini Luna menyukai Enji diam-diam. Ia menyukainya sejak melihat Enji saat pertandingan basket antar sekolah yang diadakan di sekolah mereka saat kelas sepuluh semester dua. Enji yang mahir bermain basket, Enji yang ramah, lucu, dan mudah tersenyum itu membuat Luna terpikat, lalu beberapa hari kemudian sadar kalau dirinya menyukai cowok itu.
Sejak saat itu pula, Luna sering melihat Enji berlatih basket diam-diam. Sembunyi-sembunyi. Alasannya karena dirinya malu, takut Enji terganggu. Ia juga belum berani mengungkapkan perasaanya karena takut jika Enji tak memiliki rasa yang sama dengannya dan malah melontarkan kata-kata yang menyakiti hatinya. Luna takut patah hati lagi.
Kebetulan di hari Enji pingsan setelah latihan, saat itu Luna sedang menontonnya berlatih basket.
“Luna? Kenapa bengong?” tanya Enji sambil menahan tawa. “Kamu nggak ada niatan nginep di perpustakan, kan?”
“Hah? Eh? Iya, maaf. Nggak. Emmm …” Luna melihat deretan novel di sampingnya dengan wajah yang bersemu merah tak henti-henti dan perasaan malu yang mencapai ubun-ubun.