Enji mengambil satu gorengan lagi yang ada di atas meja Bu Ida—sang penjual gorengan yang selalu laris manis karena rasa goengannya yang paling enak menurut murid-murid SMA Mentari. Enji langsung melahap gorengan itu tanpa duduk dulu di kursi yang ada, matanya jelalatan ke segala penjuru kantin. Meneliti satu per satu manusia yang ada di sana.
“Makan tuh, duduk!” seru seorang cowok sambil menyenggol lengan Enji.
Enji yang sedang memegang gorengan yang tengah ingin ia gigit tak menyangka atas senggolan manusia tak sopan itu, gorengan satu-satunya jatuh tanpa bisa ia cegah ke sepatu basket kebanggaannya.
“Bangke,” maki Enji pelan. Mata sipitnya menyipit dengan ekspresi murka pada Ipan—manusia yang telah membuat gorengan terakhirnya jatuh.
Ipan tertawa melihat tatapan murka Enji. Cowok berambut cepak itu menepuk-nepuk bahu sobat tercintanya. “Ambil lagi, Ji. Gue yang bayarin,” katanya sambil tersenyum sok bijak.
“Awas lo berdusta!”
“Nggaklah. Emang elo,” balas Ipan sinis. “Oh iya, makan tuh duduk, Pak Enji!”
Enji mengambil satu bakwan goreng terlebih dahulu, kemudian menjawab,” Bener. Gue lupa. Oh iya, bayar dulu gorengannya, Bang,” kata Enji sambil menunjuk gorengan di tangannya.
“Oke.” Ipan merogoh saku celana belakangnya, mengambil uang lima ribuan dari sana, kemudian menghampiri Bu Ida untuk membayar. “Bu, bayarin satu gorengannya Mas Ganteng Enji,” ucapnya pada Bu Ida yang langsung tertawa. Sedangkan Enji yang memperhatikannya terkekeh pelan. “Sama ini, Bu,” tambahnya, lalu mengambil permen karet rasa stroberi di keranjang dagangan Bu Ida.
Kedua remaja cowok itu duduk berhadapan di bangku yang kosong kemudian. Enji melahap gorengannya sambil lagi-lagi melihat ke sekeliling kantin. Ipan di hadapannya ia abaikan. Temannya itu memperhatikannya dalam diam. Enji menatap jijik padanya saat dirinya menoleh ke arah Ipan, cowok itu tertawa-tawa tidak jelas padanya.
“Ngapa lo?” tanya Enji.
“Elo yang ngapa? Nyariin siapa lo?” tanya Ipan balik.
Enji tersenyum tipis tanpa memandang Ipan. “Orang,” jawabnya ambigu.
“Gebetan, tah?”
Enji menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Gebetan bukan ya namanya?”
Ipan menyemburkan tawanya. “Lo naksir?”
Enji menjawab dengan tidak yakin. “Kayaknya gitu.”
“Lo gimana sih kok nggak jelas gitu?” tanya Ipan sambil tertawa tak habis pikir.
“Aih, susah dijelasin, Pan! Nanti kalo dah jelas gue kasih tau, dah.”
Ipan mengangguk. “Mau ke mana lo?” tanyanya saat melihat Enji berdiri dan merapikan baju seragamnya juga rambutnya.
Enji terkekeh terlebih dahulu sebelum menjawab. “Ada deh. Lumayan masih ada waktu lima belas menit sebelum bel. Cabut dulu ya gue, Bro!” setelah mengatakan itu, Enji melesat meninggalkan Ipan yang menatap kepergiannya sambil tersenyum geli.
“Lagi kasmaran tuh anak,” lirihnya.
***
Enji melihat tiga cewek sedang duduk melingkar sambil memakan sesuatu di depan kelas Luna saat sampai di kelas XI IPA 3. Cewek yang duduk membelakanginya berambut pendek sebahu, persis Luna. Sepertinya memang dia. Tiga cewek itu makan sambil tertawa-tawa, lalu salah satunya diam saat melihat Enji berjalan ke arah mereka. Membuat yang lain ikutan diam.
“Yang rambut pendek, Luna bukan?” Enji bertanya ragu-ragu sambil cengengesan. Cowok itu berhenti sekitar empat langkah dari cewek yang sepertinya Luna duduk.
“Eh, iya Luna,” jawab cewek yang posisinya berhadapan dengan Enji. “Lun, ada yang nyariin kamu, tuh,” katanya pada Luna yang mematung dengan ekspresi super kaget yang mati-matian ia sembunyikan.
Dengan perlahan, Luna memutar badannya untuk melihat Enji. Cewek itu membalas senyum lebar Enji dengan tersenyum kaku yang memperlihatkan gigi-giginya. Luna kemudian berdiri sambil merapikan rok seragamnya.
“Ada apa, Ji?” tanyanya sekalem yang dirinya bisa.
“Emmm, main aja, Lun. Pengen nemuin kamu,” jawab Enji lalu tertawa garing. Cowok itu mengusap tengkuknya sambil melirik ke arah lain. Aduh, kok jadi agak malu begini, ya? Apalagi dua teman Luna melihat ke arahnya dengan sambil menahan senyum.
Luna dapat merasakan wajahnya memanas dan jantungnya berdetak amat kencang. Ia menoleh pada dua temannya yang tersenyum-senyum saat Luna menoleh ke arah mereka.