Kening Luna mengernyit bingung mendengar pernyataan Enji. Dia? Dia siapa? Apakah orang yang Enji sukai? Pacar? Gebetan? Atau mantan?
Saat Luna hendak bertanya, tiba-tiba bel tanda jam istirahat selesai berbunyi nyaring. Membuatnya batal bertanya. Ia memperhatikan Enji yang kini sadar dari aksi bengongnya. Cowok itu mengedip-ngedipkan matanya yang tampak lucu di mata Luna.
Enji sadar kalau ia telah membuat cewek manis di depannya ini bingung. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil sedikit menunduk. Sebenarnya ia ingin mengenal lebih jauh dengan Luna. Sekaligus mencari tahu tentang cewek yang ia sukai yang wajahnya ia lupa bagaimana. Apakah Luna adalah ‘dia’? Walaupun mungkin Luna bukan ‘dia’, cewek di depannya ini sukses membuat dirinya menjadi tidak biasa.
Apakah—-
“Enji, kok bengong lagi?”
Suara Luna yang lirih itu berhasil membuat Enji membuka mata sipitnya lebar-lebar. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal lagi.
“Aduh, maaf banget, Lun. Kamu marah, ya?”
“Nggak.” Luna menggeleng. Cewek itu tersenyum tipis. “Ini udah bel. Kita masuk kelas masing-masing aja yuk sekarang. Kan nggak baik kalo telat terus dihukum nyapu taman lagi.”
Enji tertawa renyah. Iya juga. “Bener. Mau aku anter ke kelas?” tawar Enji.
Luna menggeleng pelan. Tidak, nanti jantungnya copot. “Nggak, Ji. Makasih.”
“Padahal nggak aku anter, tapi udah bilang makasih. Ya udah, dadah, Lun!”
“Dah, Ji!”
Mereka berlalu ke kelas masing-masing setelah melambaikan tangan. Senyum samar menghiasi bibir keduanya. Pertemuan yang dihiasi rasa yang beraneka ragam itu membuat hati keduanya bahagia. Tanpa sadar kedua remaja itu berjalan sambil mengayun-ayunkan kedua tangannya ke depan dan belakang. Sedikit berdendang dan menoleh ke sekitar dengan ceria.
Senyum keduanya dan dendangan pelan yang keluar dari bibir mereka sontak berhenti saat melihat guru mata pelajaran mereka sudah berjalan masuk ke kelas. Dua anak manusia itu langsung berlari tunggang langgang sambil berdoa dalam hati semoga kali ini tidak diusir dan dihukum. Kaki mereka mengeram laju lari yang kencang saat sampai di pintu kelas. Membuat teman-teman dan sang guru mata pelajaran menoleh ke arahnya.
“Maaf, Pak. Masih boleh masuk?” tanya Enji dengan perasaan harap-harap cemas.
Sementara di ambang pintu kelasnya, Luna bertanya dengan napas yang putus-putus karena habis berlari.
“Maaf, Pak, saya masih bisa ikut pelajaran Bapak?”
Untung saja, kedua anak manusia itu masih diperbolehkan mengikuti pelajaran. Senyum lega tersungging di bibir mereka.
***
“Luna, yang tadi itu siapa?” tanya Angel, teman sebangkunya. Luna yang sedang membereskan peralatan sekolahnya menoleh ke arahnya.
“Namanya Enji,” jawabnya sambil mengulum senyum.
“Ganteng, yaaa,” puji Angel diiringi tawa kecil yang membuat Luna menatap tajam padanya.
“Kamu suka?” tanya Luna waspada.
Angel tertawa melihat tatapan yang dilayangkan Luna padanya. Pasti teman tercintanya ini mengira dirinya naksir Enji. Tidak, ia hanya memujinya.
“Nggak, lah!” bantahnya, lalu memutus kontak dengan Luna dan menggendong tas sekolahnya.
Luna mengembuskan napas lega. Ia kembali meneruskan membereskan alat sekolahnya kemudian menutup risleting sekolahnya. Saat sedang menggendong tasnya, Angel berjalan cepat meninggalkannya. Luna menatap punggung cewek itu dengan bingung. Kok, ia ditinggal? Tanpa bilang apa-apa lagi. Biasanya mereka selalu jalan bersama menuju gerbang.
Saat Luna mulai berjalan keluar kelas, tanpa ia duga Angel berlari masuk ke kelas menghampirinya yang langsung berhenti berjalan dengan terkejut. Temannya itu menjerit heboh, membuat Luna menatap super bingung padanya.
“Ada apa—”
“Enji nungguin kamu!”
“Hah?!”