Because I Love You

Nur Afriyanti
Chapter #7

Deja Vu

Sekarang hari Senin. Seperti hari-hari Senin di sekolah biasanya. Upacara bendera dilaksanakan. Luna berjalan ke lapangan bersama Angel. Sinar mentari pagi pada jam tujuh lewat ini masih bagus untuk kesehatan tubuh, dan kedua cewek itu mau berjemur sambil menunggu upacara dimulai. Sekalian mencari barisan untuk upacara.

Luna memilih barisan paling depan, sedangkan Angel di belakangnya. Mereka duduk bersila di atas rumput lapangan yang dipotong rapi dan berwarna hijau cerah. Sesekali kulit mereka dibelai oleh angin yang berembus pelan.

Luna melihat lalu lalang orang-orang yang baru berangkat sambil menyipitkan matanya karena agak silau. Lambat laun lapangan mulai ramai. Siswa-siswi juga guru dan staf sekolah ke lapangan untuk berbaris. Luna melihat mereka dari tempatnya duduk bersila. Dan matanya menangkap satu orang yang amat sangat menarik perhatiannya.

Enji.

Ia sedang berjalan bersama empat teman cowoknya sambil mengobrol dan tertawa. Wajah-wajah teman Enji itu tidak asing. Mereka anak basket sekolah ini juga seperti Enji. Sering latihan bersama cowok itu. Dan baru Luna sadari, ternyata tinggi mereka berlima sama. Tanpa sadar Luna tersenyum. Keren!

Enji berdiri di barisan paling depan. Ia masih mengobrol dan tertawa bersama teman-temannya di belakang. Sesekali cowok itu juga berbicara dan terlihat bercanda dengan teman cewek yang berbaris di sampingnya.

Enji memang cowok yang mauberteman dengan siapa saja dan humoris. Ia selalu terlihat ceria. Enji juga ramah, terlihat selalu percaya diri juga seolah tak pernah gentar pada apa pun. Kepribadiannya menyenangkan. Tak heran jika cowok itu punya banyak teman, atau mungkin banyak yang suka. Karena caranya berbicara saja sudah membuat orang nyaman dengannya.

Tak terkecuali Luna. Ia hampir tak bisa berhenti tersenyum setelah pulang makan di warung makan bersama Enji tempo hari.

Namun, ngomong-ngomong, kenapa Enji mengajaknya, ya? Ah, Luna tidak mau berpikir apalagi GR kalau Enji … suka padanya. Pasti hanya karena … karena apa, ya? Cowok itu tidak bilang apa-apa, sih, dan Luna juga tak terpikir bertanya karena dirinya terlalu bahagia saat itu. Lagipula, sepertinya Enji punya seseorang yang ia suka. Yang pada saat itu cowok itu bilang ‘dia.’ Sudahlah, Luna tidak mau berpikir macam-macam.

“Lun, sampe kapan kamu mau duduk terus?" Suara Angel yang nyaring menyapa indra pendengaran Luna.

"Oh, iya!" seru Luna. Ia tidak sadar kalau upacara mau dimulai.

Luna bangkit sambil melihat ke arah Enji. Cowok itu dan teman-temannya tidak bercanda lagi. Mata sipitnya melihat ke arah depan. Ia berdiri tegak dengan kedua tangan terkepal di sisi tubuhnya.

Sedari tadi Enji tidak melihat ke arahnya. Memang jaraknya dengan Luna cukup jauh. Luna ada di barisan yang menghadap ke pembina upacara, sedangkan Enji berada di barisan yang berada di sebelah kiri. Jika tidak melihat dengan seksama ia mungkin tidak akan bisa mengenalinya. Luna pun tahu Enji karena kebetulan melihatnya tadi saat cowok itu mau pergi ke barisan.

“Lun, liat ke depan!” bisik Angel di telinganya. Temannya itu menyadari kalau Luna sedari tadi kepalanya agak menengok ke samping kiri.

Luna menahwa tawa. "Iya. "

Lama-lama lehernya pegel juga. Luna memutus pandangannya pada Enji. Fokus melihat petugas pengibar bendera yang membawa bendera untuk dinaikkan.

 

***

“Eh, Lun, bentar!” cegah Angel saat mereka berdua hendak berjalan ke kelas. Upacara yang membosankan bagi hampir seluruh pesertanya itu akhirnya selesai juga. “Mau nali sepatuku dulu.”

“Oh, oke.”

Pandangan Luna kembali ke tempat di mana Enji berada. Cowok itu masih di sana. Sedang berbicara pada teman-teman sekelasnya. Terlihat cowok itu mengatakan sesuatu yang lucu dan teman-temannya tertawa terbahak-bahak. Salah satu teman cowoknya bahkan menjitak kepala Enji, yang dibalas tendangan pelan cowok humoris itu pada kaki temannya. Luna ikut tertawa melihatnya.

Enji dan teman-temannya lalu memutuskan untuk kembali ke kelas, tapi Enji berhenti melangkah saat baru saja berjalan tiga langkah. Tali sepatu hitam cowok itu terlepas. Ia mempersilakan teman-temannya untuk berjalan duluan. Salah satu dari mereka entah berkata apa, tapi sepertinya berkata seolah kalau Enji harus ditunggu, dibumbui candaan yang membuat mereka tertawa, dan Enji membalasnya dengan mengusir mereka dengan kibasan tangannya.

Teman-teman Enji akhirnya berjalan duluan. Meninggalkan Enji yang berjongkok untuk menali sepatunya. Luna masih melihatnya sampai cowok itu selesai menali sepatu kemudian bangkit berdiri. Cowok itu menyapukan pandangannya sebelum berjalan ke kelas, dan pandangannya bertemu dengan Luna.

Dalam jarak yang cukup jauh, kedua insan itu saling bersitatap. Pandangan mereka bertemu dalam satu garis lurus. Mereka diam, dan sekeliling mereka pun seolah ikut terdiam. Tak terdengar suara angin ataupun bising manusia. Mulut mereka terkatup erat. Tubuh mereka tediam kaku. Keduanya merasa … deja vu! Dulu mereka pernah mengalami kejadian ini.

Luna tersentak. Cewek itu memutus kontak matanya dengan Enji, lalu menunduk. Jantungnya bertalu-talu seolah ingin loncat dari tempatnya. Cewek itu memegang pipinya yang terasa panas. Apa ini? Kenapa ia merasa kejadian ini pernah terjadi?

“Lun! Jangan bengong, ayo balik ke kelas!” Suara Angel belum mampu membuat Luna kembali dari wisata masa lalunya.

Lihat selengkapnya