Because I Love You

Nur Afriyanti
Chapter #9

Why?

Enji akan bertanya langsung pada Luna. Memang seharusnya begitu, kan? Ia ingin tahu yang sebenarnya. Semua ini rasanya abu-abu. Tentang dugaan Luna yang menolongnya saat dia pingsan, tentang Luna yang menonton ia dan teman-temannya latihan basket, juga tentang apakah Luna menyukainya juga. Soal cewek yang ia sukai, Enji yakin itu adalah Luna. Karena ia suka padanya sesuka Enji pada cewek yang ia sukai, tapi lupa wajahnya itu. Hatinya yang berdebar, juga perasaan gugup yang ia alami itu saat bersama Luna sama seperti saat Enji teringat dengan cewek pujaanya.


Saat sedang jam pelajaran akhir sebelum pulang sekolah, Enji izin keluar oleh ibu guru sejarahnya. Enji dengan berat hati berbohong kalau mau ke toilet, padahal dirinya mau ke kelas Luna. Enji berencana memberi tahu Luna saat pulang sekolah nanti jangan langsung pulang dulu. Ada yang mau ia bicarakan. Karena nanti dirinya piket dulu saat kelas sudah bubaran, maka dari itu Enji meminta Luna untuk menunggunya.


Alibinya untuk izin ke toilet berhasil, saatnya ke ke kelas Luna dan memberi tahu cewek itu untuk jangan pulang dulu. Enji tersenyum riang saat melihat beberapa murid kelas Luna ada yang di luar. Besar kemungkinan sedang tidak ada guru di kelas itu. Dan benar saja. Kelas Luna sedang jam kosong. 


Enji melihat dari luar pintu kelas Luna, cewek yang dicarinya sedang duduk di kursi deretan kedua dari depan. Yang posisinya paling pojok kanan. Cewek itu sedang menulis sesuatu di bukunya dengan ekspresi serius.


“Eh, boleh minta tolong, nggak?” tanya Enji pada seorang siswi yang habis mencuci tangannya di wastefel depan kelas. 


“Iya, apa?” tanya cewek itu dengan ramah.


“Tolong panggilin Luna, ya,” pinta Enji sambil tersenyum tipis.


“Luna Handika?” tanya siswi itu.


Enji mengerjapkan matanya bingung. Nama lengkapnya Luna siapa, ya? Aduh, dirinya belum tau.


“Emang ada berapa Luna di kelas lo?”


“Ada dua. Luna Handika, dia dipanggilnya Luna. Terus Sofia Luna Safitri. Dia kadang dipanggil Luna juga, tapi seringnya Safitri,” jawab cewek itu.


“Oh, berarti Luna Handika. Ceweknya rambutnya pendek sebahu,” jelas Enji.


“Oh oke. Bentar, ya.”


Enji mengangguk, dan si cewek itu berjalan masuk ke dalam kelas. Enji bersandar di tiang kelas itu. Beberapa saat kemudian cewek tadi keluar dan menghampiri Enji yang langsung berdiri tegak. Kenapa dia yang datang? tanya Enji dalam hati.


“Mana Lunanya?” todong Enji langsung.


“Katanya dia lagi nanggung. Nggak bisa ninggalin kerjaannya,” lapor si cewek.


“Serius?” tanya Enji dengan raut wajah kecewa.


“Emang dia lagi ngerjain apa?”


“Kurang tau, nulis sesuatu di buku gitu. Paling ngerjain resensi, PR bahasa Indonesia yang dikasih tadi.”


“Yah, padahal kan itu PR,” lirih Enji dengan ekspresi lemah.


Si cewek tertawa kecil. “Luna emang rajin anaknya.”


“Terlalu rajin,” koreksi Enji. Cowok itu menghela napas berat. “Ya udah, deh. Eh, tapi tolong bilanginya. Pulang nanti tolong jangan langsung pulang, tunggu Enji di depan kelas,” pintanya.


“Oke, siap,” balas cewek itu sambil tersenyum lebar dan mengacungkan jempolnya.


“Makasih banyak, ya. Nama lo siapa?”


“Sari.”


“Oke, Sari. Jangan lupa kasih tau Luna. Gue cabut ke kelas. Bye!”


Lihat selengkapnya