Ini sudah jam tujuh pagi, hari selasa, dan Enji malah masih berbaring malas di kasurnya. Belum sarapan dan jelas belum mandi. Rambutnya acak-acakan dan tampangnya sangat tidak enak dilihat. Matanya menatap kosong ke luar jendela. Ia melirik jam dinding dengan malas. Tekadnya sudah bulat, ia akan bolos sekolah sekarang.
“Enji!”
Suara ibunya yang berasal dari luar kamar terdengar jelas, tapi cowok berkaos oblong dan berkolor cokelat itu tidak menjawab.
“Kamu nggak sekolah?” Ibunya yang memakai daster berwarna merah marun menatap heran padanya dari ambang pintu.
Masih dalam posisi rebahannya, Enji menoleh pada ibunya, lalu menggeleng lemah,
“Ini bukan hari Minggu, kan?”
Enji menggeleng lagi.
“Kamu sakit?” tanya ibunya lagi.
“Nggak, Bu. Aku cuma pengen bolos aja,” jawab Enji lemah.
“Bolos?!” seru ibunya marah. Wanita itu menatap tajam Enji yang tampangnya memelas. Anaknya yang biasanya cengengesan itu terlihat sangat murung. Enji yang biasanya ketar-ketir saat dirinya marah pun kini tampak tak peduli.
“Enji lagi patah hati, Bu,” ucap seseorang yang entah sejak kapan ada di belakangnya.
Ibu Enji menoleh ke belakang dan menemukan Ito yang telah berseragam sekolah tengah rapi berdiri tegak selangkah di belakangnya. Cowok itu maju mendekatinya dan berdiri di sebelahnya. Ito mengangguk yakin saat ibunya menatap dengan mata menyipit padanya.
“Gue nggak patah hati, Bang. Jangan ngarang yang nggak-nggak deh, lo,” sangkal Enji dengan nada tidak suka.
“Terus apa?” tanya ibunya dan Ito bersamaan.
Enji lemah. “Yah … galau aja.”
***
Luna menatap tampilan wajahnya di cermin. Ia tersenyum pada dirinya sendiri. Cewek itu mengembuskan napas berkali. Badannya ia tegakkan setegak mungkin.
Sekarang atau tidak sama sekali, ia harus mengatakan tentang perasaannya pada Enji. Ya, harus. Ia tidak boleh terus berbohong seperti ini. Berbohong pada Enji, juga pada dirinya sendiri. Ia harus berani bilang yang sebenernya pada cowok itu. Ia tidak boleh terus menghindar!
Luna harus bilang pada Enji kalau dirinya memang menyukai cowok itu, bahkan sejak dulu. Bahwa ia selama ini mengagumi Enji diam-diam. Kalau cewek yang ia lihat saat di lapangan adalah dirinya, dan yang menolong saat Enji pingsan memang Luna.
Ia menatap lagi penampilannya di cermin, kemudian dengan mantap berjalan keluar rumah.
Tujuannya saat sampai di sekolah adalah kelas Enji. Sekarang sudah jam tujuh lewat lima belas menit. Sudah tidak terlalu pagi lagi. Ia berharap Enji sudah berangkat dan ada di kelasnya.
Kegugupannya semakin menjadi-jadi saat kelas Enji tinggal selemparan batu lagi. Luna berhenti sebentar, melipir ke tiang kelas dan bersandar di sana. Ya ampun, jantungnya berdetak amat kencang sekali sampai rasanya mau copot. Ia mengusap tangannya berkeringat dengan tisu yang dibawanya dari rumah.
Luna lanjut berjalan setelah sekitar dua menit berdiri mengumpulkan keberaniannya. Kelas Enji tampak sibuk, anak-anak yang ada di sana berjalan ke sana kemari sambil membawa buku tulis dan pulpen. Mereka saling berkata, membuat kelas itu sangat ribut.
Luna berdiri kaku di depan pintu setelah sampai. Tangannya yang berkeringat karena gugup mengetuk pintu kelas yang berpelitur itu. Pada ketukan pertama, belum ada jawaban. Yang kedua pun tidak. Luna mengetuk lagi, dan masih belum juga ada jawaban. Agak sebal, Luna memberanikan diri mencondongkan tubuhnya untuk melongok ke dalam. Matanya menatap satu-per satu manusia yang ada di kelas itu. Mana Enji?
“Nyari siapa?”
Luna super kaget sampai hampir menjerit, untunglah ia mampu menguasai dirinya. Cewek itu menegakkan badannya. Tersenyum tipis pada cowok yang membuatnya kaget ini. Ah, cowok ini temannya Enji. Luna sering melihatnya bersama Enji.
Luna berdehem sekali, lalu bertanya, “Enji udah berangkat?”
“Setau gue belum. Gue tadi abis dari toilet. Bentar,” ucap cowok yang merupakan Ipan itu. Ia berjalan masuk, melihat ke bangku milik Enji yang ternyata kosong. Ia mengedarkan pandang ke segala penjuru kelas, juga bertanya pada teman-temannya. “Enji belum berangkat,” katanya.
“Oh, belum ya?”
Ipan mengangguk sambil menyunggingkan senyum tipis. “Mau nunggu?” tanyanya.
Tentu saja, batin Luna. Cewek itu mengangguk.
“Gue balik ke dalem, ya? Mau nyelesain PR,” bisik Ipan sambil cengengesan.