Bandara Incheon
Ji Yoo mendengus sebal. Dia sudah duduk menunggu di kursi ini selama setengah jam. Rahangnya sudah pegal mengunyah permen karet dan telinganya kebas tersambung dengan earphone. Dia sudah bosan menunggu, tetapi yang ditunggu tidak kunjung muncul.
Dia mengeluarkan ponselnya, melihat foto yang diberikan Dong Hyun kemarin.
“Siapa, ya, nama laki-laki ini? Sukw ... Seo Suk .... Astaga! Aku sama sekali tidak mengingatnya,” decak Ji Yoo menggembungkan pipinya kesal. Sifat pelupanya memang sudah kelewatan.
“Huh, memangnya aku peduli dengan nama laki-laki itu!” gumamnya lagi, masih merasa kesal karena sudah hampir mematung di bangku bandara. Dia melesakkan ponselnya ke dalam tas dengan kasar. Disetelnya pemutar musik dengan suara keras, memutuskan untuk lebih berkonsentrasi menikmati lagu kesukaannya.
“Kau Shin Ji Yoo?”
Samar Ji Yoo seperti mendengar namanya disebut. Jika tidak menyadari ada sesosok laki-laki berdiri tepat di depannya, mungkin dia tidak akan yakin bahwa namanyalah yang dipanggil. Laki-laki itu tinggi menjulang. Butuh beberapa detik sampai Ji Yoo berhasil mencapai ujung kepala pria di depannya itu. Kepala Ji Yoo mendongak dan tubuhnya nyaris terjungkal ke belakang.
Laki-laki itu berwajah putih, lebih terlihat pucat sebenarnya. Rambut yang kecokelatan tampak acak-acakan. Matanya tertutup kacamata hitam yang bertengger di atas hidung mancungnya. Misterius.
Karena Ji Yoo tidak kunjung mengatakan sesuatu, laki-laki itu melepas kacamatanya. Tatapan matanya tajam membakar wajah Ji Yoo. Sorot mata itu sama sekali tidak bersahabat, tetapi benar-benar mengunci pandangan Ji Yoo.
Otak Shin Ji Yoo kosong, dia tidak bisa mengalihkan matanya dari mata pria itu. Lalu, Ji Yoo merasakan dentuman keras menghantam dadanya dan tiba-tiba saja persediaan oksigennya seperti diisap habis. Paru-parunya mendadak kesulitan untuk memompa udara. Dia tidak tahu harus melakukan apa. Otaknya sedang mogok. Ji Yoo hanya tahu bahwa tampangnya pasti terlihat sangat bodoh dan konyol.
Oh, ya, laki-laki itu, kan, tadi memanggil namanya. Memangnya siapa dia?
Pesawatnya baru saja mendarat di Korea. Laki-laki itu berjalan santai dengan membawa satu tas yang menggantung di punggungnya. Kacamata hitamnya masih terpasang. Dia memerlukan itu untuk menutupi matanya yang sedikit bermasalah karena masalah pribadinya. Kaus bermotif garis, berwarna kombinasi putih, biru, dan hitam, tampak menyilaukan di atas kulitnya yang putih. Sepanjang dia berjalan, entah berapa banyak gadis yang menoleh dan tampak memperhatikannya terang-terangan.
Seo Ji Suk berhenti setelah selesai menyerahkan paspornya kepada petugas pemeriksaan. Matanya menyapu seantero bandara, mencari sosok gadis di foto yang didapatkannya dari sepupunya semalam. Tidak lama, matanya berhenti pada sosok gadis berjaket putih yang duduk di jajaran bangku tunggu sendirian, kelihatan mencolok karena rambut panjang gadis itu digerai bebas menutupi sebagian wajahnya, dan Ji Suk sama sekali tidak bisa menangkap wajah gadis itu karena sedang menunduk. Dia mendesah pendek, kemudian memutuskan untuk melangkahkan kakinya ke sana dan berhenti tepat di depan gadis itu.
“Kau Shin Ji Yoo?” dia bertanya malas karena tidak cukup yakin bahwa gadis itu adalah orang yang dicarinya. Hanya menuruti instingnya saja yang membawanya bergerak ke arah gadis itu.
Gadis itu mendongak, kelihatan meneliti dirinya. Detik itu juga ketika dia menemukan wajah gadis itu, Ji Suk merasakan sengatan aneh yang membuat jantungnya berdebar kencang, membuatnya sesak. Ji Suk menahan napasnya. Wajah gadis itu, kenapa bisa Tuhan menciptakan wajah sesempurna itu? Kulit putih dengan mata bulat adalah hal pertama yang ditangkap otaknya. Seperti boneka dan cantik. Otak Ji Suk masih sangat normal untuk menilai kecantikan gadis itu yang membuatnya membeku di tempat. Untuk kali pertama, dia merasa kata cantik bahkan tidak cukup untuk menggambarkan wajah gadis itu.
“Kau Shin Ji Yoo?”
Butuh jeda cukup lama untuk membuat kedua orang itu mendapatkan kendali diri mereka masing-masing. Selama sepersekian detik tadi, mereka seperti terlempar ke dalam dimensi yang isinya hanya mereka berdua. Saat Seo Ji Suk sadar, gadis itu belum juga menunjukkan tanda akan membuka mulut. Ji Suk melepas kacamatanya.
Kendali tubuh Shin Ji Yoo langsung berantakan. Dia berusaha berdiri, tetapi kehilangan keseimbangannya. Tubuhnya oleng dan hampir saja jatuh, sebelum akhirnya tangan Seo Ji Suk menggapai pinggangnya, membantu Ji Yoo menjejakkan kedua kakinya di lantai.
“Oh, maaf. Terima kasih,” ucap Ji Yoo canggung. Dengan cepat dia menjauhkan tubuhnya setelah yakin bisa berdiri tegak. Dia merasakan sentuhan tangan pria itu di kulitnya, dan rasanya seperti sengatan listrik.
“Kau ....” Ji Yoo berhenti sebentar, berusaha mengingat nama yang diucapkan Dong Hyun kemarin. Tangannya bergerak-gerak menunjuk-nunjuk Seo Ji Suk, lalu dia mendesah pelan, “Hmmm ... sepupunya Dong Hyun dari Melbourne?”
Saat itu Ji Suk baru bisa merasakan aliran napasnya sedikit normal, kebekuan tubuhnya mendadak hilang saat dia mendengar suara renyah gadis itu. Ji Suk mengedikkan bahu, melemaskan otot yang terasa sedikit kaku, lalu terkekeh pelan. Dia tidak tahu bagian mana yang lucu, mungkin menertawakan dirinya sendiri yang sudah bereaksi bodoh barusan. “M-hmmm. Aku sepupunya Lee Dong Hyun. Apa dia tidak memberi tahu namaku?” ujarnya setelah berdeham.