Seoul, Korea Selatan
Gadis itu menggeliat pelan, menggeser posisi kepalanya ke atas bantal berbentuk beruang. Dia mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya membuka kelopak matanya secara sempurna. Dia menghela napas perlahan dengan satu tarikan panjang. Sepertinya persediaan oksigen di paru-parunya terkuras habis. Dia menggerutu tidak jelas ketika merasakan sinar matahari yang tajam menerpa tepat di wajahnya. Sungguh, jika ini bukan Senin, dia pasti sudah merebahkan kembali kepalanya ke bantal dan melanjutkan tidur.
Dia paling tidak suka dengan Senin.
Shin Ji Yoo menyibakkan selimutnya. Dia menunggu beberapa menit sampai seluruh nyawanya terkumpul sempurna, kemudian baru bangun, lalu duduk melipat kakinya di atas kasur. Matanya masih sesekali menutup lalu berusaha dibuka kembali dengan paksa.
Shin Ji Yoo mendengus saat melihat jarum pada jam bekernya yang menunjukkan pukul sembilan. Mengabaikan kenyataan bahwa dia harus segera membersihkan diri dan berangkat ke kantor. Astaga! Bagaimana bisa setenang itu? Dia bangun kesiangan pada Senin dan masih saja berleha-leha, sementara waktu masuk kerjanya adalah pukul delapan!
Ah, memangnya dia peduli? Pemimpin perusahaan tempatnya bekerja itu, kan, kekasihnya, jadi mana mungkin kekasihnya itu akan memberikan skors atau bahkan memotong gajinya? Ji Yoo bahkan nyaris selalu berangkat tidak tepat waktu, dan kekasihnya sama sekali tidak pernah memberikan ultimatum.
“Kau baru bangun?”
Ji Yoo mendongakkan wajahnya, menatap si pemilik suara. Seorang pria tengah berdiri di depan pintu kamarnya dengan tangan dilipat di depan dada, ditambah sesungging senyum malaikat. Ji Yoo sudah cukup terbiasa dengan kehadiran pria itu, yang sering muncul di depan kamarnya secara tiba-tiba. Pria itu—kekasihnya—memang selalu seperti ini jika dia belum berangkat ke kantor pada waktu yang seharusnya. Sekadar mengecek apakah Ji Yoo memang masih tidur atau terjadi sesuatu yang kurang menyenangkan. Seperti, dia sudah berangkat kerja lalu mengalami sesuatu yang buruk di perjalanan. Yah ... mengingat gadis ini cerobohnya memang sudah kronis.
Ji Yoo membalas senyum kekasihnya seraya menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal. Dia tidak tahu seperti apa wajahnya saat bangun tidur, tetapi yang jelas selama satu tahun berpacaran dengan pria itu, dia tidak pernah mendengar keluhan tentang penampilannya saat bangun tidur. Dia belum pernah mendengar kekasihnya mengomentari rambutnya yang menyerupai singa atau sisa air liur yang membekas di sudut bibir.
Ah, apa kekasihnya itu terlalu mencintainya sampai-sampai tidak tega mengeluarkan kata-kata ejekan kepadanya? Entahlah, kekasihnya itu sepertinya tipe pria paling diinginkan oleh seluruh gadis di seluruh dunia. Tampan. Kaya. Manis. Sangat menjaga perasaannya. Dan, sederet kosakata positif lain masih antre untuk pria itu. Sedetik kemudian, pria itu berjalan ke arah Ji Yoo dengan satu tangan dibenamkan ke dalam saku celana.
“Jangan katakan kalau semalam kau begadang hanya karena bermain game?” tebak pria itu dengan nada sedikit mengejek.
Ji Yoo tersenyum setengah mencibir. “Kau kira apa lagi yang aku lakukan?” balasnya sambil tertawa.
Pria itu ikut tertawa, wajahnya seperti mengatakan aku sudah sangat mengenalmu! Dia memang sudah sangat paham bahwa kekasihnya adalah maniak game. Bahkan, sepertinya dia cukup tahu bahwa “pacar” pertama Ji Yoo adalah laptop dan PSP-nya, sementara dia cukup jadi yang kedua.
Ji Yoo berdiri dan menghampiri kekasihnya, kemudian menggelayut manja di lengan pria itu, dia mengedipkan matanya menggoda, “Baiklah, aku akan segera mandi. Kau bisa menungguku di bawah, kan, Dong Hyun-a1?”
***