Because of You

Enang Rokajat Asura
Chapter #1

1

Bunga terus melangkah melewati lorong gelap. Lalu ada setitik cahaya menerobos diantara sela-sela lobang. Mungkin lobang kunci atau apa. Bunga terus melangkah mengikuti degup jantung. Lorong gelap itu berakhir seiring terang menyambutnya di ujung depan. Kaki itu berhenti di depan pintu. Brak! Pintu terbuka. Cahaya yang berasal dari sejumlah monitor komputer menyergapnya. Saling mendahului. Bunga memicingkan matanya. Cahaya yang menyergap tiba-tiba itu sangat mengagetkan. Diantara silau cahaya, ia masuk ke dalam ruangan. Kini ia tidak memicingkan mata lagi. Mata sayu itu telah dengan cepat menyesuaikan diri.

Bunga tersentak. Bangun tiba-tiba ketika mendengar pintu kamarnya diketuk cukup keras. Mama yang mengetuk pintu. Ah, Bunga menyesal tampaknya. Dadanya jelas sekali terlihat masih turun-naik dengan cepat. Ia benar-benar kaget. Perjalanan dalam lorong gelap tadi, yang dirasakannya antara mimpi dan tidak itu, benar-benar masih menempel di benaknya. Ia masih merasakan betapa kakinya terasa pegal, seperti telah melakukan perjalanan jauh. Ya, seperti menempuh lorong gelap tadi. Nyatakah ini? Tidak. Bunga menggeleng. Mana mungkin melakukan perjalanan dalam lorong gelap itu nyata, toh di sini, tak ada lorong gelap. Mimpikah? Mungkin. Tapi kalau memang mimpi, kenapa kaki masih pegal dan pemandangan dalam lorong gelap itu serasa masih menempel di benaknya. Pintu terdengar diketuk kembali diiringi lengking suara Mama. Ini bukan mimpi melainkan benar-benar kenyataan.

“Bunga! Bangun sayang, subuh hampir habis!” terdengar lagi suara Mama, lalu diam, mungkin kini telah meninggalkan tempatnya tadi berdiri. Bunga menggosok mata. Terasa perih. Belakangan ia memang sering terjaga dari tidurnya, lalu melamun dan bisa dipastikan tidak akan tidur lagi untuk waktu cukup lama. Padahal sebelumnya untuk bisa memicingkan juga memerlukan waktu. Gambar kenangan itu selalu datang tumpang-tindih tanpa dikehendakinya. Datang silih berganti seperti sengaja tidak memberi ruang untuk memikirkan masalah lain. Gambar kenangan itu telah terpola – datang tak dikehendai dan berakhir ketika degup jantung berubah ganjil. 

Bunga berdiri, mengikat rambutnya dengan karet gelang, masuk ke kamar mandi dan sebentar kemudian keluar lagi. Waktu subuh hampir habis, tak mungkin kalau mandi terlebih dahulu kendati sekujur tubuhnya berkeringat. Bukan. Bukan karena udara Bandung belakangan terasa semakin panas, tapi keringat itu, ya, Bunga merasa yakin, keringat itu karena dalam tidurnya ia gelisah atau mungkin karena baru saja ia melakukan perjalanan yang melelahkan itu. Mungkin saja dalam kenyataannya, ketika ia mimpi melakukan perjalanan panjang tadi itu, kakinya terus bergerak-gerak atau mungkin tangan dan sekujur tubuhnya bergerak-gerak kesana-kemari, mengitari tempat tidur dengan tidak terkendali, sehingga menyebabkan ia berkeringat.

Selesai solat Bunga berdo’a panjang. Mudah sekali ia terombang-ambing perasaan, kegelisahan itu menghantui. Hatinya susah sekali untuk merasa tentram. Pikirannya seolah tak pernah kehabisan energi untuk terus menciptakan kisah jalin-menjalin. Kisah rekaan itu serupa gelombang berlomba beradu cepat, masuk ke dalam pikiran sehingga semakin panjanglah waktu Bunga menunggu saat-saat datang kantuk itu. Tidak. Aku tak boleh suudzon kepada Allah, bukankah Dia, sesuai dengan prasangka umatnya, gumam Bunga. Maka kendati waktu subuh benar-benar telah habis kini, ia tidak jadi melipat sajadahnya. Sebaliknya termenung, melarutkan seluruh tubuh dan pikirannya dalam untaian do’a. Banyak yang ia ajukan kepada Maha Pencipta dalam do’anya itu. Terutama ia meminta ketentraman hati dan pikiran. Keadaan yang belakangan ini jauh sekali untuk dijangkaunya. Mungkin, begitu Bunga mengira, ketika hati dan pikirannya tentram dan terkendali, segala sesuatunya bisa berjalan dengan lancar. Ia bisa bangun tepat waktu karena tidur dengan cukup. Ia juga bisa tidur tepat waktu karena pikiran dan hatinya tidak terganggu kisah-kisah hasil rekaannya sendiri itu. Dengan pikiran yang tentram dan terkendali, ia juga berharap bisa menjalani hidup ini secara normal. Hidupku tidak normal? Tap! Bunga melihat sepenggal bayangan hitam. Gambaran kenangan itulah yang belakangan terasa semakin menjeratnya sehingga kakinya terbelenggu, lidah ini selalu kelu, mata selalu merasa buntu.

Selesai berdo’a, Bunga melipat sajadah dan mukenah, disimpannya di rak sebelah tempat tidurnya. Menyempatkan minum segelas air putih sebelum membereskan tempat tidur dan membuka lebar-lebar jendela kamar. Di luar dalam remang terang tanah, terlihat kehidupan telah lama berdenyut. Tapi Bunga tidak tertarik untuk memperhatikan lalu-lalang itu. Ia kemudian membereskan tempat tidur. Beberapa saat setelah membereskan tempat tidur, begitu saja ia disergap keengganan untuk memulai kehidupan pagi ini. Nanti Mama pasti akan bicara tentang lelaki itu lagi. Panji namanya. Katanya sih ingin segera meminangnya. Ah, dasar lelaki, selalu saja melakukan apapun dengan pikirannya sendiri tanpa mencoba untuk menyelami pikiran orang lain. Tidak mungkin, Ma, mustahil itu, gerutu Bunga begitu saja. Padahal tidak ada Mamanya di hadapannya saat ini. Dan lelaki itu, juga belum ketahuan seperti apa sosoknya. Apakah tinggi tegap atau kurus kerontang. Apakah wajah lelaki itu lebih mirip bintang K-pop yang ’cantik’ atau garis wajahnya tegas sebagai seorang pria pekerja keras? Samasekali tidak pernah ada dalam memori ingatan Bunga, selain bahwa lelaki yang hendak meminangnya itu bernama Panji.

“Jalan-jalanlah di halaman belakang, hirup udara pagi sebanyak yang kamu bisa supaya badan kita segar. Terlalu banyak diam di kamar pikiran akan tambah sumpek,” teriak Mama dari ruang tengah. Mama pasti telah olahraga. Dan teriakannya itu ditujukan pada siapa lagi kalau bukan pada aku, batin Bunga. Si bungsu Ria, kelihatannya lebih aktif, lebih mirip dengan Mama. Kendati baru Kelas Dua SMU, tapi Ria selalu sibuk dan banyak acara, melebihi kesibukan Mama sebagai seorang pemimpin perusahaan. Tapi Ria itu baik, menyenangkan, dan dialah satu-satunya yang bisa mengerti aku, lamun Bunga lagi. Yang kebilang rada lelet, mungkin Dery. Baru masuk kuliah tahun ini. Kelihatannya Dery beda banget dibanding Ria, pikir Bunga. Ah, entah kenapa pagi ini begitu saja kedua adiknya itu hadir lengkap dengan karakter dan kebiasaannya masing-masing. Malah kalau saja Bunga tidak menepiskan bayangan masa lalu itu, bisa dipastikan bagaimana saat SMA dulu, ia selalu ingin pulang lebih cepat hanya untuk bisa berlama-lama melihat Ria yang tak henti berceloteh atau Dery yang selalu menendang apa saja yang ada di hadapannya. Saat balita dulu, baik Ria maupun Dery, selalu jadi pusat perhatian. Tidak saja karena wajahnya yang tembem dan menggemaskan, tapi kelihatan keduanya cerdas. Ria yang banyak bicara dan Dery yang banyak tingkah.

Bunga hapal benar, sebenarnya Dery itu baik dan penyayang kepada siapapun, tapi ia gampang dipengaruhi apalagi oleh orang yang sangat dikaguminya seperti Mama misalnya, Dery menjadi kehilangan jati dirinya. Tidak jelas keinginan dan omongannya itu, apakah keluar dari pikirannya sendiri atau pikiran Mama misalnya. Soal dia lelet, bahkan terkesan ogah-ogahan, Bunga juga hapal benar. Dulu, sejak kecil Bunga yang ngasuh. Dengan kedua adiknya itu, Bunga memang terpaut jauh. Saat Bunga remaja dan duduk di bangku SMA, Dery dan Ria masih balita. Tapi bagi Bunga, perbedaan usia yang terpaut jauh itu, dulu, justru menyenangkan sekali. Pulang sekolah ada yang bisa dimainin.

“Bunga, sudah bangun, Sayang?” ulang Mama. Suaranya makin dekat. Bunga yakin sekarang Mama ada di depan pintu kamar.

“Ya, Ma, sudah!”

“Anak gadis harus bangun subuh, supaya otot wajah tidak mudah kendur.”

“Ya, Ma,” jawab Bunga dan langsung membuka pintu. Ia paham benar kalau Mama sudah teriak-teriak, sebentar lagi akan ngomong tentang kebaikan kalau jogging pagi, mandi dengan air dingin sehingga kulit akan tetap kencang, lalu nanti akan berteriak memanggil Iyem, menyuruh membawa sarapan yang sudah dibuatkan Mbok Nem. Tapi pagi ini ternyata beda. Saat Bunga membuka pintu kamar, tidak didapatinya Mama berdiri di sana. Entah sudah terbang kemana Mama sepagi ini. Sehingga ceramah rutin pagi itu tak hinggal di telinganya.

Bunga berjalan melewati ruang tengah menuju halaman belakang. Mama mungkin meneruskan jogging di halaman belakang. Di ruang tengah Ria nonton film kartun, kedua kakinya diangkat ke atas meja dan mulutnya tak henti ngemil. Tapi anehnya kendati ngemil dan makannya kuat, Ria tetap saja kurus. Mungkin karena aktif, pikir Bunga.

“Nah, begitu dong, baru anak Mama,” seloroh Ria begitu melihat kakaknya keluar dari kamar, sementara matanya tetap anteng ke layar televisi. Bunga tertegun sejenak, melihat adik bungsunya yang begitu bebas mengisi hari-harinya, lalu beringsut pergi. Kehidupan Ria yang bebas dan riang, sebenarnya selalu membuat Bunga cemburu.

 Tuh, kan, bener, sepagi ini saat matahari masih terang tanah, Mama sudah berkeringat. Ia terlihat melakukan gerakan-gerakan senam aerobik.

“Ayo, ikut, Bunga, biar bugar!” ajak Mama dengan napas masih ngos-ngosan. Bunga menggeleng. Ia memilih duduk di kursi taman. Di meja segelas susu rendah kalori kesukaan Mama tersaji.

Saat menatap halaman belakang, lain dari biasanya, Bunga seperti diingatkan impian semalam. Ya, sebelum ia berjalan menembus lorong gelap, langkah itu diawali dari halaman berumput seperti halaman belakang ini. Bunga mengangguk. Sesaat kemudian ia menggeleng.

“Tidak mungkin! Dari halaman belakang ini tidak mungkin tembus ke lorong gelap itu. Aku yakin di balik tembok pembatas ini adalah rumah tetangga,” batin Bunga. Ia memang bisa memastikan bahwa dari halaman belakang rumahnya ini tidak ada lorong gelap, yang akan mengantarkan masuk ke ruang penuh layar monitor, seperti dalam mimpinya tadi. Tapi kendati begitu, toh dengan gampang pikiran Bunga kembali mengingat mimpinya semalam itu. Ya, saat ia masuk ke dalam ruangan, memperhatikan monitor yang menyala, di dalamnya tersaji beraneka macam tayangan yang berbeda satu sama lainnya. Bunga ingat benar, saat itu, berdiri sendiri dengan perasaan gamang. Bingung harus memilih monitor mana. Setelah berpikir sejenak, lalu Bunga akhirnya mendekati salah satu monitor. Diperhatikannya dengan seksama. Gambar setangkai mawar. Ya, setangkai mawar itulah yang menarik perhatian Bunga. Ia ingat benar saat itu matanya tetap tak lepas dari monitor berisi gambar setangkai mawar itu. Mawar merah. Berjuta makna bisa ditafsirkan dari kelopak-kelopak yang merekah itu. Dan Bunga saat itu justru melihatnya dari sudut yang lain. Mawar merah yang mulai merekah. Oh, tidak, Bunga saat itu terpekik kaget. Ia mungkin teriak, tapi tenggorokannya seperti terhalang sesuatu sehingga tidak bisa bebas. Ia kaget karena ada kelopaknya yang jatuh, tergeletak di lantai dan dengan cepat tiba-tiba saja kelopak mawar yang baru jatuh itu mengering. Saat tangannya ingin mengambil kelopak yang mengering itu, Bunga jelas sekali mendengar seseorang bergumam.

“Mawar lambang cinta kasih. Seorang perempuan demikian tersanjung ketika padanya diberikan setangkai mawar. Tapi dalam mawar juga ada duri. Jika tidak hati-hati tentu duri itu akan melukai. Akan halnya cinta, jika tidak hati-hati bisa melukai. Karena cinta, seorang bisa mencuri. Bahkan karena cinta tak segan-segan untuk membunuh. Cinta seperti samudera, semakin dalam kita menyelaminya semakin banyak misteri di sana. Cinta!”

Makin lama monitor berisi mawar itu membesar dan membaurkan semuanya. Hanya sampai di situ, selebihnya Bunga tak berani mereka-reka karena terbangun ketika Mama menggedor pintu cukup kencang.

“Ya, kamu ini kenapa sayang? Dibiarkan sebentar saja pasti kamu langsung melamun. Ngelamunin apa sih?” bilang Mama yang begitu saja sudah berada duduk di samping Bunga. Bunga terkesiap. Ia samasekali tidak tahu kalau Mama selesai olah raga, bahkan tidak tahu kapan Mama meneguk susu, sehingga kini hanya tinggal setengahnya.

“Nggak kok, Bunga nggak ngelamun kok, Ma,” jelas Bunga berbohong, dan tanpa dikomando pipinya merona begitu saja. Mama hanya tersenyum dan memegang tangan putrinya.

“Kamu ini terlalu lugu, Sayang, tak bisa bohong, buktinya pipi kamu kenapa tiba-tiba merona? Sini, tatap Mama!”

 Ah, ketahuan juga, batin Bunga. Ia menurut, menatap Mamanya dan mata ini lebih banyak bicara lagi. Ya, ketahuan lah akhirnya kalau Bunga memang berbohong.

“Coba kamu ngelamun apa tadi?” desak Mama dan Bunga tentu saja KO. Tak ada alasan lagi untuk mengatakan tidak.

“Ngelamun rumput.”

“Rumput?”

Bunga mengangguk pelan.

“Ada apa dengan rumput heh?”

“Bunga melihat di sudut halaman yang ditanami rumput itu, melihat ada lorong gelap. Bungan masuk ke dalamnya. Berjalan terus sampai akhirnya...”

“Lalu kamu kehilangan kendali dan merasakan betapa dunia ini gelap-gulita, begitu sayang?”

Mama sebenarnya menduga-duga. Tapi dugaan Mama itu benar adanya. Bunga menatap heran pada Mamanya. Kenapa Mama bisa tahu apa yang aku lamunkan, batinnya kemudian. Haruskan aku sangsi karena ternyata Mama tahu apa yang aku lamunkan atau seharusnya bahagia, karena punya Mama pinter menebak?

“Tak ada lorong gelap di halaman ini, Bunga. Percaya sama Mama. Semua itu hanya karena kamu terlalu melamun, pikiranmu melayang kemana-mana. Makanya gerak dan lakukan sesuatu, agar pikiranmu tidak terjejali dengan lamunan-lamunan konyol itu lagi…” jelas Mama. Berdiri. Mematung di bibir teras. Ia menatap pada sudut halaman dimana tumbuh subur rumput gajah. Sinar matahari mulai terang dan lambat-laun kabut yang sebelumnya menyelimuti, berpendar dan akhirnya hilang.

“Sudahlah! Mama harus mandi dan pergi ke kantor. Lakukan sesuatu, kamu ingat itu, Bunga?”

“Ya, Ma.”

Mama menghilang masuk kamar sementara Bunga masih duduk. Kini segelas susu juga tersaji di meja. Entah siapa yang menyimpannya, Mbok Nem apa Iyem.

Bunga berjalan mengitari halaman belakang, kedua tangannya direntangkan, sesekali melakukan gerakan memutar ke kiri dan ke kanan. Tapi mungkin karena kurang tidur, ketika badannya digerak-gerakkan, samasekali tidak serta-merta jadi bugar. Sebaliknya malah pandangannya berkunang-kunang, ada sejuta bintang menari-nari di hadapannya. Bunga menghentikan gerakan-gerakan ke kiri dan ke kanan itu dan hanya mengitari halaman, memeriksa bunga yang terlihat segar, seperti habis mandi. Ya, mungkin bunga itu habis mandi, mandi embun, sehingga setiap kelopaknya terlihat segar.

Setelah dua tiga kali mengitari halaman, Bunga akhirnya mematung di sudut halaman. Matanya menatap tajam pada sudut halaman, ingin memastikan bahwa di sana samasekali tidak ada lobang yang akan menghubungkan pada lorong gelap itu. Ya, benar! Tidak salah lagi bahwa di sana memang tidak ada lorong gelap. Samasekali tidak ada, selain rumput yang menghijau dan pohon Palem. Bunga sangat yakin dengan pandangannya. Jadi, halaman berumput seperti dalam impiannya itu, mungkin halaman rumah yang lain lagi, entah dimana.

Selesai mandi dan berdandan dengan sempurna, Mama keluar dari kamar, menenteng tas kerja. Langkahnya terhenti saat lewat di depan kamar Bunga. Ia menatap pintu kamar dan mulai bicara seolah Bunga ada di hadapannya. Padahal Bunga sendiri saat itu masih di halaman belakang. Ria baru saja selesai mandi, duduk di kursi ruang tengah, sambil menghabiskan sarapan, matanya kembali anteng pada layar televisi.

“Pokoknya Mama nggak mau kamu nolak! Nggak boleh protes! Nggak boleh ngebantah! Suka atau tidak suka, kamu harus ikut cara Mama,” teriak Mama. Ia berdiri, mematut, membetulkan anak rambut yang kelewar-kelewir.

“Mama ngomong ama siapa sih?” tegur Ria.

Lihat selengkapnya