Pagi cerah sekali. Udara terasa segar, karena di sepanjang jalan tumbuh pohon-pohon rindang. Daun-daunnya telah berhasil menahan laju udara kotor. Ria bersyukur dengan kesadaran yang dimiliki warga Bandung, yang masih punya kesadaran betapa pentingnya menjaga lingkungan. Dengan kepedulian memerhatikan lingkungan sekitar, paling tidak lingkungan rumahnya masing-masing, telah menghasilkan sesuatu yang teramat penting yaitu lingkungan yang sehat dan bersih.
Ria berlari-lari kecil masuk ke halaman, disambut cicit burung dan hamparan rumput hijau. Sayup gemerisik air dari sungai kecil di taman buatan. Segarnya mata ini, gumamnya. Ia biasanya akan selonjoran di halaman, sambil mata melalap habis bunga-bunga yang tumbuh terawat dan tertata rapih. Putri bungsu Ny. Hermin ini akan bersenandung manakala hatinya benar-benar sedang diliputi bahagia. Kendati hanya sepenggal-sepenggal, tapi cukup gampang bagi yang mendengarnya bahwa ia saat itu sedang gembira. Sebaliknya manakala sedang dirundung duka, jangankan mau buka suara, sekedar membuka napas untuk membuang udara kotor saja seringkali Ria enggan. Seperti kebanyakan remaja seusianya, Ria selalu memandang hidup ini hitam putih. Sederhana sekali.
Saat-saat Ria bersenandung tentang apa saja, Bunga sering tergerak untuk tersenyum simpul. Menatap wajah Ria memang selalu menyenangkan dan pada saat seperti itulah Bunga benar-benar merasa sadar bahwa sesungguhnya menatap orang lain lengkap dengan lagaknya, adalah sesuatu yang juga menyenangkan. Sayang, kesadaran itu tidak selalu diakrabinya. Jarang sekali ia temui dalam kesehariannya.
Mata Ria menatap buket mawar di teras. Aha, soraknya. Bunga lagi. Belakangan ini di teras itu memang sering teronggok buket mawar, yang entah dikirim siapa dan kapan mengirimnya. Bunga itu teronggok begitu saja. Tapi, sejak awal kedatangan buket mawar merah beberapa hari lalu, sampai pagi ini dan Ria tak ingat lagi berapa jumlahnya, buket-buket itu ditujukan pada satu orang di rumah ini : Bunga! Ya, buket-buket itu memang buat Bunga.
“Bunga lagi … Bunga lagi. Siapa yang falling in love, sih?” gumam Ria, lalu memungut buket mawar itu dan membawanya ke dalam rumah. Di ruang keluarga, Ria mendadak diam saat melihat Mamanya memerhatikan dengan pandangan kurang senang. Ria balik menatap, menyelidiki Mamanya itu dengan pandangan serupa.
“Kok ngeliat gitu sih, Ma? What’s wrong?” seru Ria.
“Buang bunga itu! Siapa tahu bunga itu bunga sial atau berisi racun. Kamu mau celaka? Semua bisa celaka!” seru Mama. Ria karuan saja terkekeh, dipandangnya buket mawar itu. Diam-diam ia justru mengaguminya. Kagum dengan setiap kelopak mawar ini, kagum dengan warna merahnya yang entah merah apa namanya, marunkah atau merah apa. Dan Ria tahu persis, sulit mencari warna seperti itu dalam bentuk kain atau cat rumah. Merah itu hanya dimiliki mawar, lain tidak. Subhanallah, betapa agung yang telah menciptakan mawar ini lengkap dengan warnanya yang sulit sekali ditiru. Semakin menikmati tiap kelopak mawar itu semakin tumbuh rasa senang di hati Ria. Tapi tidak demikian dengan Mamanya. Ia, entah karena alasan apa, selalu menyangka yang bukan-bukan manakala menemukan bunga tanpa pengirimnya itu. Dan larangan Mama yang tanpa alasan itu, tentu saja tidak berlaku bagi Ria, ia tak mengacuhkannya.
“Cepat buang bunga itu, Ria!” semprot Mama diantara kegiatan sarapannya. Lagi-lagi Ria tidak langsung mengabulkan permohonan Mamanya itu. Siapapun pengirimnya, mawar ini tetap saja mawar yang cantik.
“Ya, Mama, masak bunga sebagus ini dibilang bunga sial. Mawar macem begini kan mahal, Ma. Masih seger…harum lagi mmm…”
Ria memejamkan mata merasakan bagaimana nikmatnya mencium wangi bunga itu. Mama menyudahi sarapannya dan melenggang pergi ke halaman belakang. Di garasi sopirnya sudah menunggu. Di ambang pintu langkahnya tertahan, berbalik dan berkicau panjang pendek. Ria hapal benar kebiasaan Mamanya itu. Entahlah, Ria sendiri sering tak habis pikir, kenapa pesan-pesan yang dalam kuping Ria lebih berupa kicauan itu, justru disemprotkan Mama di ambang pintu. Tidak pada saat sarapan atau begitu bangun pagi tadi dan selesai sholat subuh misalnya. Atau tidak ada salahnya justru pesan-pesan kicauan itu tak perlu dikicaukan di ambang pintu, tapi cukup tulis dalam selembar kertas dan ditempelkan di pintu kamar masing-masing. Paling tidak dengan cara-cara seperti itu, Mama akan terhindar dari stress rutin di awal pagi. Entahlah, mungkin Mama sendiri lebih senang hidup berada dalam stress dan bermain-main dengan stress.
“Sebelum berangkat sekolah, bangunkan dulu kakakmu. Maunya ngegantiin Mama, kuliah kok nyantai bener sih, jam segini masih ngorok!”
“Kok pagi begini udah berangkat, Ma, Ria kan mau bareng.”
“Mau bareng gimana, kamunya sendiri belum mandi. Mama banyak kerjaan, kamu pake angkot aja.”
“Sekali-kali nyenengin putri tercantiknya ini kenapa sih, Ma,” seloroh Ria. Mama tak menjawab. Sebentar kemudian terdengar mobil distarter. Ria hanya angkat bahu. Ngeloyor pergi menuju kamar. Sebelum masuk kamar, terdengar Iyem memanggil dengan suara agak tertahan.
“Non?”
Ria tak jadi masuk. Berbalik menatap Iyem. Ia mengangkat alisnya menanyakan ada apa. Iyem ikut-ikutan memberi isyarat. Tanpa bicara ia menuding ke arah kamar Dery.
“Ngapain sih, Yem?”
“Den Dery.”
“Kenapa emang, kamu suka?”
Iyem cengengesan.
“Emang boleh ta, Non, Iyem suka?” katanya kurang ajar sekali. Tapi Ria tidak marah. Iyem emang terlalu polos dan ngeyel. Padahal berkali-kali Mbok Nem, yang ngerasa membawa Iyem masuk ke kelurga Ny. Hermin, mengingatkan agar belajar menjaga mulut. Tapi Iyem tetap saja Iyem, tak hilang-hilang ngeyelnya.
“Kalau suka, kamu yang bangunin, aku sih males. Udah siang, aku harus mandi dan sekolah.”
"Non Ria pasti lagi jatuh cinta,” komentar Iyem benar-benar polos. Ria menjulur lidah.
"Tahu darimana kamu, aku lagi jatuh cinta?”
"Abisnya dari tadi meluk bunga terus. Non Ria juga mau mandi dulu katanya tadi, sebelum ke sekolah.”
"Aduh, Yem, apa salah sih ke sekolah mandi dulu?” Akhirnya Ria meladeni. Ia tidak sadar padahal waktu terus bergulir dan hampir setengah tujuh, tapi belum juga mandi. Padahal terlambat lima menit saja, gerbang langsung digembok. Dan satpam yang sok berkuasa itu akan berdiri angkuh sekalipun panjang-pendek dirayu supaya dibukakkan pintu.
"Tuh, kan, bener? Kalau lagi jatuh cinta, Nonnya mandi terus. Mau sekolah mandi, mau tidur mandi dulu, pokoknya kerjaannya mandi…” Iyem terkekeh. Samasekali tidak merasa berdosa telah mengganggu anak majikannya. Ria menjulurkan lidahnya lagi.
"Jatuh cintanya wakilin sama kamu aja!” seloroh Ria seraya membuka pintu dan terbenam di kamar. Iyem masih berdiri. Langkahnya ragu manakala harus membangunkan Dery.
Selesai mandi sambil mengambil sekerat roti, Ria terlihat geleng-geleng kepala. Heran juga, selang sekian menit ia mandi dan dandan, ternyata Iyem masih berdiri di tempatnya semula. Bahkan kini lengkap dengan penyakitnya, mematung dan nyaris tidak berkedip. Matanya menatap lurus ke arah kamar Dery.
“Yem, Yem, kamu ini udah bosen idup apa?” goda Ria seraya menyenggol pantat Iyem dengan tas ranselnya yang berisi sepuluh buku paket. Buk! Iyem terhuyung ke depan dan hampir terjerembab. Tapi dari mulutnya samasekali tidak terdengar nada kesakitan apalagi merasa kaget. Ia lalu bangkit lagi dan berdiri kukuh seperti semula. Ria benar-benar merasa dipermainkan. Ketika untuk kedua kalinya ia mengayunkan ranselnya, kamar Dery terbuka dan Iyem langsung bersorak girang. Dery terlihat kaget dan hanya saling pandang dengan Ria melihat Iyem langsung bersorak girang seperti itu.
“Kamu apain dia, Ri?”
Ria angkat bahu.
“Tanya aja sendiri! Katanya sih kangen, nunggu kak Dery bangun,” Ria sekenanya dan langsung bergegas keluar. Dery mendengus, berjalan tak peduli dengan sikap Iyem yang berdiri sambil mengumbar senyum. Bagaimanapun cara Iyem senyum, bagi Dery tetap saja, gak ada manis-manisnya. Iyem sendiri samasekali tidak sakit hati diperlakukan seperti itu. Ia paham benar, Dery itu gampang marah. Dan kalau sudah marah, bisa tidak nyapa seharian. Tentu saja bagi Iyem kerugiaan besar, toh ia memang selalu merasa bahwa Dery adalah seorang lelaki sempurna yang layak dijadikan pendamping hidup. Coba bayangkan betapa kurang ajarnya Iyem.
“Mau minum dulu apa mandi dulu, Den?” Iyem membuntuti Dery.
“Nabok kamu dulu. Mau?”
“Kata Non Ria, jatuh cintanya diwakilin Iyem saja. Kok sekarang mau ditabok sih, Den?” bilang Iyem dengan nada protes. Dery mengernyit. Samasekali tidak paham, kenapa pembantunya ngomong seperti itu.
“Ngomong apa sih, Yem?”
“Jatuh cinta!”
“Kamu tahu artinya jatuh cinta?”
Iyem menatap, mengernyit seperti sedang memikirkan sesuatu, lalu ia menggeleng pelan.
“Jatuh cinta itu artinya…” jelas Dery seraya siap-siap akan menamparnya. Iyem terlihat meringis. Bahkan ketika melihat Dery melotot, Iyem langsung nungging di lantai. Pada saat yang bersamaan Mbok Nem datang dan langsung terkekeh melihat Iyem nungging. Ia mengangguk hormat pada Dery.
“Iyem tuh, Mbok, kurang ajar!” lapor Dery. Raut muka Mbok Nem langsung terkesiap begitu mendengar laporan Dery bahwa Iyem kurang ajar. Pantas, pikirnya, pagi-pagi begini Iyem sudah disuruh nungging.