Pagi ini seperti juga pagi kemarin, Ria kembali menemukan buket mawar merah di benteng pagar halaman depan. Ia langsung membawanya masuk ke kamar Bunga sebelum Mama mengetahuinya. Bunga baru saja membereskan tempat tidur ketika Ria masuk. Biasanya Ria akan memeluk kakaknya dari belakang. Tapi pagi ini, Ria tidak melakukannya. Ia menatap Bunga dan memerlihatkan apa yang sedang dipegangnya. Buket mawar merah. Ah, buket ini jelas untuk Bunga dan bukan untuk dirinya. Tapi kenapa tak sekalipun Bunga menunjukkan perhatiannya. Ia malah sering termenung sedih manakala menerima kabar dari Ria bahwa pagi ini ada lagi yang mengirim bunga. Bunga memang sempat terus-terang merasa terganggu. Ingat akan kata-kata kakaknya itu, Ria jadi ragu antara melaporkan temuannya itu pagi ini atau tidak. Tapi kalaupun tidak dan ia kembali keluar dari kamar kakaknya, tentu Bunga akan tanda tanya karena melakukan sesuatu di luar kebiasaan. Akhirnya setelah menimbang dengan matang, Ria pun berhasil mengalahkan keraguannya, ia mendekap pinggang kakaknya dari belakang, mencium rambutnya yang harum dan tersisir rapih itu.
“Ria,” gumam Bunga. Ria tersenyum.
“Kakak.”
“Bau keringat ah. Habis olah raga ya?” tanya Bunga.
“Iya dong…biar panjang umur dan sehat,” seloroh Ria.
“Kakak juga mau olahraga,” gumam Bunga.
“Wow!” Ria bersorak gembira. Ini sebuah perubahan luar biasa. Kemajuan yang dahsyat kalau benar kakaknya itu mau ikut olahraga. “bagus itu, Kak, ayo ama Ria aja. Mau keliling komplek atau cukup mengitari halaman belakang, cukup untuk melemaskan otot-otot, lalu streching sebentar dan menikmati juice bikinan Iyem, ah, nikmat benar hidup ini,” kicau Ria berapi-api.
“Beruntung bisa hidup bebas seperti kau, Ri!”
“Lha, memangnya kakak nggak bebas kenapa? Nggak ada yang salah dengan kakak, nggak ada yang aneh dengan kakak!”
“Sudahlah! Mawar lagi, Ri?”
“Ya, Kak, mawar lagi.”
“Merah,” gumam Bunga. Ria mengangguk.
“Kakak suka ya?”
“Tidak!” Bunga menggeleng cepat. Ria tersenyum, duduk di samping Bunga yang kembali asyik dengan lamunannya.
“Aku heran deh, Kak. Dua minggu belakangan ini selalu saja ada bunga di depan rumah kita. Bunga yang sama. Rangkaian yang sama. Warna dan wanginya tepat sama. Pasti ada apa-apanya….” analisa Ria. Ia sengaja mengajak kakaknya untuk mendiskusikan bunga itu karena jelas semua buket mawar yang dikirim secara misterius itu ditujukan pada kakaknya, kendati sampai sejauh ini, Bunga menganggap kejadian itu sebagai angin lalu saja.
“Kerjaan orang iseng kali,” komentar Bunga.
“Nggak mungkin, Kak! Masak sih orang iseng kok keterusan, ngeluarin uang buat ngirim bunga. Menurut Ria sih cuma ada dua kemungkinan, kalau bukan mas Panji, pasti orang yang naksir kakak.”
“Ngaco!”
“Emang sih jaman sekarang banyak orang ngaco, Kak! Tapi jarang yang ngirim bunga. Paling ngirim bom atau ngirim surat ancaman. Itu baru kerjaan orang ngaco. Nggak pernah ada deh orang ngaco ngirim bunga.…” simpul Ria. Dan mendengar Ria begitu bernapsu mengemukakan analisanya, Bunga samasekali tak bereaksi. Ia malah kembali tercenung. Tak ada yang salah dengan analisa adik bungsunya itu. Yang salah, pikiranku sendiri, batin Bunga. Ya, sejak pertama dikabari ada yang mengirim bunga tanpa diketahui siapa pengirimnya, Bunga telah jauh-jauh berkesimpulan bahwa itu semua hanya kerjaan orang iseng. Kalaupun bukan iseng, maka bisa dipastikan pengirimnya adalah seorang pengecut. Dan orang pengecut, tidak perlu ditanggapi. Kalaupun ditanggapi dengan serius, maka ia akan semakin sembunyi di tempat paling mustahil yang tak pernah terlintas dalam pikiran orang normal. Ia, Si Pengecut itu, akan dengan berbagai alasan membenarkan tindakan pengecutnya dengan mengatasnamakan cinta misalnya. Bahkan tidak segan-segan para pengecut itu melakukan tindakan pengecutnya mengatasnamakan rasa kemanusiaan. Ia rupanya tidak sadar, dengan tindakan pengecutnya justru telah menodai rasa kemanusiaan itu sendiri. Telah merusak kesucian cinta itu sendiri.
Melihat kakaknya tercenung seperti kebiasaanya selama ini, Ria jadi salah tingkah. Ia bicara panjang lebar tentang pengirim bunga yang diam-diam telah mencuri perhatiannya ini. Tapi Bunga samasekali tidak menunjukan perhatiannya. Padahal hanya ingin mengemukakan pada kakaknya bahwa semua itu ada maksudnya. Apalagi buket mawar itu selalu ditujukan pada Bunga dan bukan yang lain.
“Sekali-kali kakak simpan deh bunga ini. Siapa tahu, dalam keadaan hening misalnya, kakak bisa mengingat sesuatu, mengingat seseorang yang pernah penasaran dengan kakak,” seloroh Ria seraya menyodorkan buket itu.
“Kamu simpen aja, Ri!”
“Kok aku sih?”
“Karena aku tidak mau.”