Pasir selalu bertiup mengikuti arah yang bukan ia inginkan, entah ke arah mata angin mana ia berjalan lalu berhenti. Burung murai pun selalu bersahutan mencoba memerdekakan kesepian setiap ruang hampa manusia yang rindu akan perasaan tertentu yang sudah pergi.
Semesta selalu mempunyai cara untuk mempertemukan atau memisahkan dua orang yang awalnya tidak saling mengenal, lalu akhirnya saling mempercayai satu sama lain.
Sekarang, langkah Lysha setiap harinya tidak terasa berat seperti biasanya, entah ia yang lupa akan luka, atau luka yang sudah menyerah pada dirinya. Warna yang sama kembali tercipta dengan cara yang berbeda.
Apakah masa lalu perlu untuk memuji Afnan? Atau masa sekaranglah yang harus bersorai dengan kehadirannya?
Kehadiran Afnan, kini terasa oleh Lysha bahkan ia sudah terbiasa dengan kehadiran laki-laki itu. Sayangnya, walaupun hatinya pernah terluka cukup dalam, namun ketika menerima Afnan perlahan dalam kehidupannya, tidak ada perasaan ragu melainkan perasaan yang akan terus bertumbuh sepanjang waktu, mengikuti dan mengiringi setiap langkah mereka berdua yang akan berjalan ke dalam kebahagiaan.
Suasana café yang tidak begitu ramai, membuat Lysha sedikit tenang bahwa pertemuannya dengan Afnan tidak akan terlalu heboh karena suasana tempat pertemuan mereka. Café ini tidak berubah jauh dari beberapa tahun dulu, meja itu masih di letak yang sama seperti dulu. Bayang-bayang akan Faldo sedikit mengganggunya ketika melihat meja itu.
“Sha,” panggil Afnan yang membuat Lysha tersadar akan pikirannya yang larut entah kemana.
“Gimana?”
“Kamu nggak apa-apa kan?” tanya Afnan, “soalnya aku lihat kamu dari tadi melamun beberapa kali,”
Lysha menyembunyikan apa yang ia rasakan dengan satu tarik senyum simpulnya “Nggak apa-apa, ini dulu tempat aku biasanya nongkrong sama teman-teman waktu jaman kuliah, jadi ingat aja gitu sama beberapa momen,” jawab Lysha yang mencari cara untuk tidak menyebutkan Faldo sama sekali.
Afnan mengangguk paham.
“Ngomong-ngomong, katanya kamu mau ngomong sesuatu sama aku,” ucap Lysha yang menagih janji Afnan ketika memintanya bertemu dengan laki-laki itu di jam makan siang.
Afnan menghela nafasnya dengan dalam dan terlihat sedikit berpikir untuk mengeluarkan kata-kata yang mungkin sudah ia siapkan dari beberapa lama sebelum mengajak Lysha bertemu.
Laki-laki itu menunjukkan sebuah gambar yang muncul di ponsel miliknya “Bagus nggak?”
Lysha meraih ponsel milik Afnan kemudian melihat foto apa yang ia tunjukkan.
Sebuah rooftop dengan beberapa meja yang disuguhkan untuk candle light dinner dan menyajikan sebuah pemandangan indah sudut keramaian kota Jakarta pada malam hari.
“Bagus banget.” jawab Lysha dengan antusias, “ini pasti salah satu gedung tertinggi di Jakarta kan? Soalnya pemandangannya bisa seluas itu,” tanya Lysha yang sedang menerka-nerka lokasi yang berada di dalam foto itu.
“Iya. Gimana?”