Sebuah kata maaf entah sejak kapan sangat-sangat bernilai dan mahal di mata banyak orang.
Sebuah kata sederhana yang dapat meluluhkan hati yang sekuat baja, kemarahan yang semerah api dan kekecewaan yang setajam belati. Akan tetapi, banyak juga insan yang tidak membutuhkan kata maaf dari seseorang dan terus saja hidup dalam meruntuhkan kebahagiaan orang lain atau bahkan dirinya sendiri.
Berbeda dengan Afnan yang menampakkan kekecewaannya dengan jelas di hadapan Roy, Galuh malah menampakkan ketenangannya dalam menghadapi situasi yang membuatnya tidak nyaman karena harus mengingat sesuatu yang membuat mereka terluka.
“Galuh tahu, Mami orang yang baik. Galuh yakin, bahkan Mami sudah memaafkan Papi sebelum Mami meninggal. Galuh juga akan maafin Papi,” pernyataan Galuh membuat Afnan langsung menatap satu-satunya saudara kandungnya itu.
“Galuh, apa kamu sadar sama ucapan kamu?” tanya Afnan yang masih memiliki hawa dingin sama seperti kemarin.
Galuh mengangguk pelan “Bang, Mami nggak pernah ajarin kita buat dendam sama orang lain kan? Mami selalu bilang, kalau pintu maaf itu akan selalu ada walaupun orang lain punya kesalahan sebesar gunung sama kita. Galuh yakin, Mami juga mau kita maafin Papi, dengan cara ini hidup kita akan lebih bahagia dan damai,”
Mata Roy seketika langsung berlinang air mata, tak membutuhkan waktu lama, setetes demi setetes air matanya jatuh di pipinya, senyumnya terukir sangat bahagia dan lega.
“Galuh mau maafin Papi?” tanya Roy yang berusaha meyakinkan dirinya bahwa putri bungsunya sudah melepaskan luka itu perlahan.
Galuh mengangguk dengan anggukan yakin disertai senyum tulusnya.
Roy menghampiri Galuh dan langsung memeluk Galuh dengan erat. Isak tangis Roy mulai terdengar.