Beberapa detik saat perempuan itu menyambarku, insting berontakku langsung keluar. Sialnya semakin aku berontak, semakin dia menghimpitku. Dengan dendangan lagu, "My swety pie", dia menggendongku layaknya bayi. Di irama terakhir, dia bahkan mencoba menciumku seakan aku ini kekasih hatinya. Sungguh melelahkan. Ini adalah kebiasaanya yang paling kubenci. Tetapi dia benar-benar beruntung, karena aku ini kucing tahu diri. Jika tidak, sudah kucakar wajahnya yang sedikit berjerawat itu. Namun yang kulakukan hanyalah menekan dadanya, berusaha menghalangi mulutnya yang dimonyongkan ke wajahku.
“Unyunyunyunyu… Kimchikuuu. Aku mencintaimuuu.”
Pelukannya semakin erat, seiring gumamannya yang tak jelas. Aku sangat ingin menghentikannya. Tetapi sebagai kucing yang sabar, aku memang harus bertahan dengan situasi ini. Apalagi dan tak bukan karena demi sekaleng whiskas, ataupun Me-o ataupun Profelin atau pun yang paling murah di antara makanan kucing lainnya. Tetapi aku lebih suka jika Magda memberiku makanan asli, daging ayam rebus ,misalnya. Itu favoritku. Atau ikan pindang yang bisa dibelinya di pasar tradisional. Aku ini binatang, suka yang alami dan punya penciuman tajam untuk benda-benda yang sebaiknya tidak dimakan.
“Mau makan ya? Lapar?” tanyanya seakan sudah tahu isi pikiranku. Padahal aku hanya mengatakan "miauw" dan "miauw".
Akhirnya dekapannya melonggar, membuatku mampu melepaskan diri dari tubuhnya. Rasanya begitu lega, dan aku sudah tidak sabar untuk sekaleng Profelin di atas meja. Sudah kulihat tanda-tanda pergerakannya menuju kotak makananku. Jangan berharap ayam rebus, itu hanya bisa kudapatkan satu bulan sekali, tergantung moodnya. Ikan pindang apalagi. Magda benci bau amis.
Saat dia sudah mengambil kaleng dari dalam kardus, aku langsung mengambil posisi. Tatapanku padanya kumanis-maniskan. Kukedipkan mataku perlahan, dan memastikan dia menatap dalam bola mataku yang bening ini. Itu salah satu cara kaumku, para kucing mencari simpati manusia. Bagaimana pun tatapan kami, kami ini memang sangat imut meski pun tulang-tulang mulai tidak elastis akibat di makan waktu.
Magda baru saja pulang dari kerja. Wajahnya sebenarnya sangat kusut, tetapi dia selalu tersenyum setiap kali melihatku. Apalagi saat melihatku makan. Sebagai kucing, nafsu makanku sangat bergelora ketika bau menyengat tuna itu menusuk hidungku. Ya Tuhan, nikmat mana lagi yang didustakan ketika pada akhirnya air liurku dapat menyatu dengan daging dengan kekenyalan tiada tara itu. Bahkan aku sudah tidak sabar lagi meneguknya, dan tak mau membuang waktu dengan mengunyahnya.
“Pelan-pelan Kimchii.” Magda membelai-belaiku lembut. “Kimchi……” belaian itu begitu menenangkan, setenang suaranya yang merdu. Tetapi sayangnya, di panggilannya kedua, suaranya mulai aneh.
"Kimchiiii..." lalu suaranya parau.
Oke permisa. Inilah momen yang selalu terjadi, hampir di setiap malam. Sebentar lagi dari mulut Magda akan keluar keluh kesah yang harus kutampung di kepala, yang syukurnya sebagai kucing aku memang tidak perlu bereaksi apa-apa selain menjadi diri sendiri sebagai kucing, yaitu terus makan.