Jika bukan karena langit sedang meruntuhkan awan, aku tak akan menjadi kucing bertuan. Itulah saat seorang anak lelaki bersama teman perempuannya berlarian, mencari perlindungan. Mereka seperti sepasang kekasih yang malu-malu menikmati percikan air dari atas langit. Sekuat tenaga menyembunyikan diri dari balik jaket, tetapi wajah diam-diam tersenyum bahagia.
Sesampainya kaki mereka di tempat aku meringkuk, si lelaki langsung terkejut dan menahan kakinya agar berhenti. Lalu seperti tahu apa yang terjadi, dia langsung menahan teman perempuannya yang mengibas-ngibas baju tanpa tahu keadaan, memastikan bahwa dia tidak menginjakku.
"Awas,"
Mataku kemudian beradu pandang dengan gadis itu. Gadis dengan poni basah, dan rambut sebahunya. Dialah Magda. Lalu aku memandang lelaki itu, yang matanya kuakui penuh kepedulian.
"Kasian."
Tetapi itu hanya kepedulian dan iba sesaat. Setelah itu mereka saling sikut menyikut, lalu mengeluarkan sebungkus roti dan saling berbagi. Air semakin deras, dan angin pun semakin kencang. Dan aku semakin kedinginan, serta kelaparan. Meskipun Magda tiba-tiba menyobek dan membaginya sedikit, tetapi roti mereka bukanlah hal yang kuinginkan.
"Eh, kucing itu karnivora, dodol!" celutuk si lelaki. Suaranya tenggelam dari kencangnya hujan.
"Ya siapa tahu dia doyan!" kata Magda, dan kemudian jongkok memandangku. "Kucingnya bagus. Kucingnya lucu, Fahel. Aku mau kucing!" katanya seperti seorang anak kecil yang merengek meminta permen.
“Bulu buluk begini." gelaknya. "Kamu memang sukanya yang buluk-buluk.”
"Fahel, aku mau dia." kata Magda kemudian, menatapku begitu tajam. "Aku mau kucing ini!" seakan dia ingin memakanku.
"Kamu yakin bisa urus kucing?" tanyanya sambil ikut jongkok dan mengamati tubuhku, "Urus rumahmu aja kamu nggak becus, Magda." katanya.
"Aku mau dia." kata Magda mengulang terus kata-katanya.
"Apa kamu selalu begini kalau ingin sesuatu?"
Tetapi Magda selalu menjawabnya dengan, "Aku mau dia."
"Oke. Apa kamu sudah memikirkan nama?"
"Apa itu penting?"
"Ya, setidaknya dengan begitu kamu akan merasa memilikinya."
“Kimchi!” jawabnya kemudian spontan.
Lelaki itu menggeleng, “Apa tidak ada hal selain makanan di otakmu?"
“Ini bukan karena soal Kimchi itu makanan. Menyebut “Kimchi” sangat enak di lidah.”
“Tuh kan, pikiranmu selalu apa yang enak di lidah.”
“Maksudnya menyebutnya lebih mudah.”
“Kamu bahkan tidak berpikir lama waktu menyebutnya. Itu sebab otakmu otomatis adalah soal makanan.”