Pada tanggal 8 September 2014, aku resmi mendiami rumah Jalan Pancoran Barat III, No. 12. Rumah Magda kemudian adalah wilayah kekuasaanku. 3 bulan berada disana tiba-tiba membuatku bangga bahwa aku memiliki wilayah kekuasaan yang begitu megah. Pagi itu, bulan Januari yang sangat cerah dan aku bisa merasakan bau rerumputan halaman Magda yang meranggas, serta kupu-kupu yang beterbangan selalu membuat naluri mangsaku bangun, mengejarnya namun tak pernah berhasil menangkapnya. Meskipun mereka hanya berputar-putar pada bunga sepatu kuning, satu-satunya tanaman bunga yang tumbuh di halaman Magda, bahkan mungkin hanya satu-satunya tanaman dan selebihnya adalah rumput liar yang setiap pagi kumakan lalu kumuntahkan di teras dan membuat Magda marah-marah.
Sebagai kucing yang mulai bahagia, aku dapat fokus tidur dengan tenang. Hidupku sekarang bukan lagi mengiba pada satu warung makan ke warung makan lain, yang biasanya berakhir dengan ditendang salah satu pelanggan, disiram istri tukang sate atau bahkan hampir diserempet motor bahkan hampir dilindas mobil. Aku juga tidak perlu mengiba pada Magda, dia sudah membukakan makanan untukku. Bahkan saat aku tidak lapar, dia memberiku makan. Meski aku tidak lapar, aku selalu menghabiskan makanan karena aku tidak pernah merasa kenyang.
Mungkin sekarang aku bukan lagi kucing yang hidupnya harus bersusah payah mencari makanan. Namun, rupanya tidak dengan Faheel, lelaki yang karena idenya dialah aku sekarang mendiami rumah Magda. Faheel tidak tinggal di sini. Aku tidak tahu di mana. Tetapi selama 3 bulan di sini, aku tidak menemukan pengunjung sesering dia. Bahkan mungkin tidak ada pengunjung selain dia.
Rupanya Faheel adalah manusia yang setiap tiba di rumah Magda, selalu mencari makanan. Hal pertama yang dilakukan Faheel sampai ke rumah ini adalah menuju kulkas, memeriksa isinya. Lalu memakan apa yang bisa dia makan, sembari meneriaki Magda agar bergegas. Kadang dia datang pagi, kadang siang, kadang sore, tetapi tidak pernah di malam hari karena Magda tidak pernah mengizinkannya datang ke rumah di malam hari.
Seperti pada pagi ini, saat aku sibuk dengan rerumputan, aku mendengar tapak kaki berhenti di depan pintu pagar. Sesaat kemudian suara decitan besinya terdengar. Dari jauh aku sudah mencium bau manusia siapa ini. Faheel. Dia datang sambil bernyanyi, lalu menutup pagar kembali sambil bergoyang. Aku memandanginya. Ketika dia kemudian melihatku, dia menunjuk-nunjukku. Di saat itulah aku kemudian memuntahkan segala isi perutku, akibat rumput yang sudah kukunyah.
“Kurang ajar kau Kim Chi.” Serunya. “Apa kehadiranku begitu memuakkan bagimu?” dia berkacak pinggang, lalu menggeleng-geleng, “Makanya jangan makan rumput!” umpatnya sambil berlalu melewatiku, masuk ke dalam rumah yang tidak dikunci. Aku membuntutinya di belakang, bahkan lebih dulu dari langkahnya menuju dapur.
“Haaa, kau hapal sekali rutinitasku di sini rupanya. Kau pasti ingin aku membuka kotak makan itukan? Tenang kucing jelek. Hari ini kubuatkan kau makanan tanpa pengawet.”
Aku mengeong, sebagai jawaban dari segala perhatiannya. Itu juga supaya dia tahu aku tidak sabar untuk itu. Pagi ini adalah hari libur, dan Magda belum juga bangun setelah tidur lagi subuh tadi. Tetapi saat Faheel berisik di dapur, aku mendengar pintu kamar terbuka dan suara tapak kaki mendekat. Magda, dengan rambutnya yang berdiri, menguap-nguap menuju dispenser.
“Kapan kau datang?” tanyanya sambil mengambil segelas air. “Tidak ada tetangga yang melihatmukan?” tanyanya menguap, dan kemudian duduk di meja makan sambil meminum airnya.
Faheel memotong-motong tomat, “Memangnya mereka peduli? Kau lihat tembok tetanggamu yang sebesar tembok berlin,” tunjukknya dengan pisau ke arah kanannya. “Jika pun mereka mau bergosip, kau juga nggak akan dengar.”
“Faheel,” katanya sambil menaruh gelasnya. “Gossip itu sangat powerfull,” tangannya menyapu sisa air yang meluber ke mulutnya. “Dia bahkan bisa mendarat di telinga orang yang jauhnya dari kutub utara ke kutub selatan.”
Faheel menumis bawang, “Semakin jauh orang, memang akan semakin kuat daya cium urusan orang lain.” Katanya sambil menarik napas, mencoba menikmati bau bawang-bawangnya yang ditumis. “Sebab dia tidak dekat, jadi dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.”
“Wangi banget. Mau masak apa?”
“Aku mengundang pak RT sarapan pagi ini. Segeralah bersiap-siap.”
Mendadak aku merasakan rintik-rintik air. Magda tersedak dari minumannya, dan aku langsung berlari ke sudut, sambil menjilati bulu-buluku yang kena cipratan air. Magda memang suka ceroboh dan kadang hampir mencelakaiku.
“Apa?”
“Iya. Sebentar lagi pak RT datang. Jangan sampai dia melihatmu sekucel ini. Nanti dikiranya aku habis ngapa-ngapain kamu lagi.”
Aku melihat Magda yang seperti kesulitan bernapas, dan aku agak khawatir apa dia akan mati hari itu. Dia agak kebingungan, tapi sebenarnya ingin segera beranjak, “Faheel, kamu.. kamu.. Apa pak RT benar-benar akan kesini?”
“Kita harus membuka diri Magda, terutama pada pak RT. Dialah yang akan bertanggung jawab atas semua yang terjadi di wilayahnya. Kau harus hormati dia. Dan hak kita untuk meminta kepemimpinannya. Apalagi kamu tinggal sendirian disini. Kalau ada apa-apa gimana? Jika tak dekat dengan seseorang, akan sulit untuk menegosiasi sesuatu. Itulah makanya gossip suka muncul!”
“Dasar gila!” Magda berlari ke kamarnya. Ini menyedihkan, sebab sebenarnya mereka melupakan sesuatu. Mereka lupa membukakan kotak makananku. Jadi aku menuju kotak itu sendiri, berusaha membukanya sendiri.
“Sudahlah Kim Chi, itu toples mahal yang dibeli Magda. Jika dia menyimpan sup disitu pun sup tak akan tumpah. Sia-sia kau berusaha membukanya.”