“Kau tidak punya keberanian untuk menjadi siapa yang kau inginkan. Kau membutuhkan orang sepertiku. Kau membutuhkan orang sepertiku agar kau bisa menunjuk dengan jemari s*@!@n itu dan berseru,
‘Dialah penjahatnya!’”
—Tony Montana dalam Scarface
PENJAHAT. CERITA TIDAK ADA artinya tanpa penjahat. Pahlawan tidak bisa bangkit menuju kejayaan tanpa penjahat. Jika tidak ada musuh, karakter protagonis kita yang tercinta hanya bisa menendangi batu di perdesaan Shire atau minum teh dan makan biskuit di tengah Spare Oom* yang ceria dan membuat pikiran mati rasa. Kita sangat menyukai penjahat karena mereka mewujudkan keinginan mereka ke dalam tindakan, mengubah memar mereka menjadi kayu pendobrak. Mereka mengesampingkan sopan santun dan melawan kekangan sosial untuk mendorong perkembangan cerita. Tidak seperti protagonis kita tercinta, penjahat—dalam keadaan apa pun—benar-benar bersedia melakukan apa saja untuk mendapatkan keinginan mereka. Itulah sebabnya diam-diam kita mendukung mereka, mendapati diri kita berharap mereka berhasil melarikan diri, dan alasan bahu kita memerosot penuh kelegaan dan kekecewaan berkadar sama ketika mereka tertangkap. Lagi pula, bagaimana mungkin kau tidak memuji seseorang yang bekerja sekeras itu untuk mendapatkan apa yang mereka mau?
Sepanjang ingatanku, aku berempati kepada orang-orang tertindas, salah dimengerti, dan dianggap jahat. Mungkin alasan utamanya berkaitan dengan pandanganku terhadap dunia, yang sejak awal mempertanyakan keberadaan “kebaikan” dan “keburukan”. Mungkin sesuatu yang dianggap sebagai kebaikan saat ini akan dianggap kebodohan esok hari; mungkin tindakan buruk saat ini akan terbukti dengan sendirinya menjadi kejahatan yang diperlukan dalam waktu setahun, atau seratus tahun. Aku selalu menganggap konsep kebaikan dan keburukan sepenuhnya rumit, sejak mengetahui percakapan yang dilakukan Tuhan dengan Iblis mengenai Ayub**. Rasanya seakan melihat sahabatmu bersimpati kepada musuh bebuyutanmu: Tunggu dulu, kalian mau berbicara kepada satu sama lain?
Penjahat tidak diciptakan dalam kehampaan; mereka kemungkinan menderita karena keputusasaan dan menentukan pilihan terbaik yang ada, tanpa peduli apakah keputusan itu mungkin berbeda dari keputusan kita. Mereka juga pernah mengalami momen kebenaran dan penghormatan yang sering dilupakan (Ada yang ingat Jamine Lannister***?). Penjahat mengambil risiko yang tidak mampu diambil oleh pahlawan kita dan menentukan pilihan yang terlalu takut dipilih oleh pahlawan kita. Mereka tinggal di dunia Abu-Abu, dan aku, terutama, sangat menyukai secercah ruang antara terang dan gelap itu, di mana semua cenderung lebih menarik, orang-orang lebih rumit, dan lebih sulit memahami semuanya secara jelas. Jika kita menatap mata seorang penjahat cukup lama, maka mungkin kita akan mendapati bagian diri kita yang tersembunyi, angan-angan kita yang tak terjamah, dan ambisi yang tak terkendali, satu garis samar jika hal itu memang ada.