Darah Imuriv
OLEH RENÉE AHDIEH
KE MANA PUN RHONE berjalan, mimpi buruk mengikutinya
Makhluk-makhluk tak berwarna bergerak di sisinya, tak terlihat oleh siapa pun kecuali dirinya. Makhluk-makhluk itu berbisik. Di dekat dan di sekeliling Rhone, napas dingin mereka menekan telinganya. Terkadang, Rhone bisa memahami gumaman mereka: Siapa kau? Bukan siapa-siapa. Apa yang sudah kau capai? Tidak ada. Pada waktu lain, mereka adalah bahasa yang telah lenyap dari galaksi nun jauh di sana. Sebuah bahasa—sebuah dunia—yang hanya Rhone ketahui dari pelajaran-pelajaran sejarah. Dunia yang orangtuanya bicarakan, dalam nada berbisik mereka sendiri.
Mimpi buruk itu sering muncul di tengah bayang-bayang. Pada sudut-sudut yang tenggelam dalam kegelapan pekat. Namun, Rhone pikir itu memang sudah bisa diperkirakan.
Bagaimanapun, mereka adalah makhluk-makhluk kegelapan.
Satu yang tidak Rhone duga adalah fakta bahwa dia bisa merasakan mereka—menyadari keberadaan mereka—merangkak tanpa suara di belakangnya bahkan pada siang bolong. Bahkan, di tengah sekilas momen kebahagiaan, mereka menyelinap melalui lubang-lubang di sekeliling hati Rhone, menggeliat memasuki segalanya.
Hingga hanya mereka yang bisa Rhone lihat.
Senyum adik perempuannya bukanlah senyuman, melainkan ejekan. Tatapan ayahnya tidak penuh kasih sayang, melainkan menghakimi.
Sedangkan ibunya? Bagi ibunya, Rhone tidak akan pernah menjadi apa pun kecuali pengingat.
Tentang semua yang dulu pernah terjadi.
Tentang wanita yang dulu ibunya panggil Ibunda. Wanita yang begitu mirip dengan Rhone, baik penampilan maupun karakternya.
Tentang monster yang menghancurleburkan semua yang disentuhnya.
Tanpa menoleh, Rhone meninggalkan kehangatan dan kemeriahan perkumpulan makan malam keluarganya, seperti yang akhir-akhir ini cenderung dia lakukan. Rhone bukannya tidak menghormati seseorang secara khusus. Hanya saja, seperti itulah caranya bersikap. Pesta yang diadakan di bawah lambang keluarga Imuriv yang ternama berbeda dari banyak perayaan yang diadakan oleh para bangsawan tinggi lain di Oranith; pesta-pesta keluarga Rhone tidak pernah norak. Acara itu justru dipenuhi teman-teman dan makanan dan tawa, seringnya berpuncak pada kisah-kisah petualangan ibunya di masa muda.
Ketika menyusuri koridor yang melengkung, Rhone melihat bayangannya balas tersenyum mengejek ke arahnya pada permukaan membulat dinding putih di sebelah kanannya.
Meski ibunya telah berusaha keras, pesta-pestanya tidak menipu Rhone. Walaupun ibunya berusaha membuat pesta-pesta itu terlihat dapat dihadiri semua orang, Rhone tahu kehadirannya tidak penting, dan akan selalu begitu. Asing. Perayaan dilakukan dengan selera tinggi, jelas dimaksudkan untuk mencerminkan status keluarga mereka. Di planet es Isqandia, di ibu kota Oranith yang berkilauan, tidak ada satu pun anak yang tidak mengenal keluarga Imuriv.
Sebagian besar mengenal nama itu dengan penuh kasih sayang. Bagaimanapun, ibu Rhone sangat dicintai, meski ada bisik-bisik tentang masa lalunya. Sebagai pemegang kuasa penuh Oranith, ibu Rhone telah membawa era kedamaian yang belum pernah dialami oleh planet yang dipimpin oleh para wanita tersebut.
Yang lain mengingat nama Imuriv ... dengan tidak terlalu senang.
Nama yang terkenal karena pembunuhan. Dicat oleh kuas seni peperangan tergelap.
Diwarnai oleh ilmu sihir kuno yang tidak dikenal.
Saat Rhone terus menyusuri koridor yang dingin dan gelap di benteng es keluarganya, suara dengung mesin menciptakan kehadiran tersendiri. Jenis kehadiran yang membuai dan menghipnosis. Tenggelam dalam dengkur mesin yang lembut, Rhone berhenti untuk bertanya-tanya wanita macam apa neneknya bagi mereka yang dicintainya.
Wanita seperti apa. Penguasa seperti apa. Ibu seperti apa neneknya bagi anak perempuannya sendiri yang mengeksekusinya karena telah melakukan kejahatan perang.
Sungguh aneh bagaimana neneknya seakan menguasai mimpi-mimpi Rhone baru-baru ini. Mimpi tentang pembalasan yang membara. Tentang darah dan kejayaan. Mimpi tentang segala hal yang tidak akan pernah mungkin terjadi.
Setidaknya, bagi Rhone tidak begitu. Atau bagi lelaki mana pun di Isqandia.
Suara kaca yang bergeser membuka menarik perhatian Rhone. Dia menoleh kembali ke arah ruangan tempat makan malam diselenggarakan. Seorang pelayan yang mengenakan gaun bermotif ceria sedang membawakan satu ronde minuman lagi untuk tamu-tamu keluarganya. Diikuti oleh satu lagi nampan berisi makanan. Denting gelas dan tawa ceria mengalir ke koridor, memanggil Rhone untuk kembali. Membujuknya untuk menempati posisi yang seharusnya, di sisi ibunya. Saat Rhone ragu, pintu dengan cepat kembali menutup. Kehangatan dan keriuhan itu memudar ke dalam kenangan. Ke dalam kehampaan.
Rhone berbalik, meneruskan perjalanan malamnya menyusuri koridor benteng keluarganya, tetap berada di selubung bayang-bayang pada satu sisi koridor. Tangannya menyapu dinding paladrium putih yang mulus. Lekuk bagian tengahnya yang bulat, dan cahaya biru lembut dari lampu, berpendar dalam garis biru di bahu dan kakinya. Kapan saja, Rhone bisa berhenti dan bertanya kepada garis cahaya biru itu. Hampir semua pertanyaan. Lampu itu akan merespons lebih cepat daripada kedipan mata. Namun, mesin seperti itu tidak mampu menjawab satu pun pertanyaan-pertanyaan Rhone yang paling mendesak. Tidak. Untuk saat ini, pendar birunya hanya berfungsi sebagai cahaya yang menerangi jalan di hadapannya.
Robot kecil yang tidak lebih besar dari sepatu bot Rhone berbelok miring di tikungan, bergegas mengirimkan pesan yang dikepit pada jepit metalnya yang terjulur. Pesan yang jelas ditujukan untuk ibu Rhone. Atau mungkin adik perempuannya, yang memiliki jabatan sangat penting. Ketika robot itu melihat Rhone berjongkok di samping garis lampu biru yang paling dekat dengan lantai, robot itu berhenti diiringi pekik melengking.
Robot itu diam, bimbang.
Kemudian, makhluk logam kecil itu mundur dengan hati-hati, berhenti sekali lagi sebelum kembali meluncur menuju ruang perjamuan yang mewah di belakang Rhone sambil berkicau.
Rhone menahan seringai kecut.
Bahkan robot tak berotak pun sadar diri untuk tidak menjejakkan kaki di hadapan Rhone Imuriv. Rupanya, kisah tentang kelakuan buruknya yang terbaru telah menyebar, bahkan kepada para pelayan terendah yang tinggal di dalam benteng es Oranith.
Mungkin Rhone tidak seharusnya menendang robot norak yang menghalangi jalannya minggu lalu. Meski dia tidak ingat telah melakukan itu, kemarahannya jelas telah menguasai pikirannya selama sesaat. Bagian diri Rhone yang tidak logis menikmati pemandangan ketika robot kecil itu meluncur di udara, hanya untuk mendarat dengan bunyi memuakkan pada dinding paladrium di sayap timur. Rhone memperhatikan dengan rasa takjub mengerikan ketika robot itu memerosot ke lantai dengan cicit yang paling menyedihkan. Mungkin tidak banyak yang bisa dia kendalikan dalam hidupnya, tetapi setidaknya dia memiliki kekuasaan terhadap makhluk logam konyol itu.
Namun, rasa bersalah tetap menusuk hatinya.
Rhone mengerutkan alis. Merapatkan bibirnya.
Tidak. Itu bukan salahnya.
Makhluk kecil tak berjiwa itu tidak seharusnya berani menantangnya. Dan, tindakan makhluk itu dua kali lebih bodoh karena mengganggu Rhone saat dia sedang membaca, hanya karena alasan yang paling konyol.
Rhone tidak ingin bermain d’jaryek bersama adik kembarnya hari itu. Sama seperti hari sebelumnya. Atau keesokan harinya. Altais adalah lawan yang tak kenal ampun jika menyangkut permainan strategi seperti d’jaryek. Dan Rhone tidak ingin bertempur dalam pertarungan yang tidak bisa dia menangi.
Dia juga sedang tidak ingin tersenyum dengan murah hati saat menghadapi kekalahan. Rhone bukan ayahnya.
Tidak. Dia tidak akan pernah menjadi seperti ayahnya.
Rhone tidak akan pernah menjadi tipe orang bodoh yang dengan senang hati berdiri di balik bayang-bayang wanita yang lebih hebat.
Selagi merenungkan hal-hal itu dan berbagai pikiran lain, Rhone merasakan kakinya membawanya menuju ruang permainan, tanpa dia perintahkan. Langkahnya mulus dan tak bersuara karena sol sepatunya yang elastis. Dia membetulkan jepit platinum pada jubah biru tuanya, lalu merapikan lipatannya yang rumit. Jubah itu terjuntai dari bahu kirinya, dengan gaya yang mengacu kepada masa lalu. Gaya yang meniru imperium yang hilang beribu-ribu tahun lalu.
Ketika berbelok di tikungan terakhir, dia mendadak berhenti. Pintu sorong menuju ruang permainan sedikit terbuka, celahnya tidak lebih lebar daripada telapak tangan. Cahaya putih berpendar dari dalam, garis lemah dari lantai hingga langit-langit.
Dengan rasa penasaran semakin membesar, Rhone bergerak mendekati ruangan itu.
Begitu dia menyapukan telapak tangannya pada panel akses, pintu bergeser terbuka sepenuhnya. Cahaya di dalam menyala terang, bagai petir yang menyambar dari langit gelap.
Tanpa berpikir, Rhone mengangkat sebelah tangan untuk menaungi matanya dari cahaya yang menyilaukan. Begitu pandangannya sudah terbiasa, dia mendapati dirinya berada dalam ruangan bulat tempat dia dan adiknya sering bermain saat masih kecil. Dindingnya sama seperti biasa, putih mengilap seperti dinding koridor.
Namun, hari ini pemandangan yang berbeda menyambut Rhone.
Ombak berdebur di pantai hologram di kejauhan. Matahari bersinar terang di langit biru cerah. Pasir di kakinya dan di sepanjang tepi ruangan bagai kristal, berkilauan di sekelilingnya bagai permata yang sangat kecil. Rhone melintasi ruangan. Burung-burung yang sudah ribuan tahun punah—burung berparuh panjang dan bersayap putih susu yang berkoak—melayang di atas Rhone, gambaran itu begitu jernih dan tajam sampai-sampai dia menahan dorongan untuk mengulurkan tangan dan menawarkan makanan hologram kepada burung-burung itu.
Bahkan, udara menguarkan aroma air garam yang tajam dan berasal dari dunia lain.
“Dulu ini favorit kita,” suara lembut terdengar dari belakang Rhone.
Rhone menggeleng tanpa menoleh. “Favoritmu. Bukan aku.”
“Kau tidak suka?” Langkah hati-hati terdengar mendekat.
“Aku lebih menyukai pemandangan gunung berapi.”
Tawa feminin tajam menggema dengan jernih di sepanjang sisi lain pantai. “Pembohong.”
Mendengar itu, Rhone menoleh ke balik bahu, keningnya berkerut. “Bagaimana kau tahu aku akan datang kemari, Altais?”
Adik perempuan Rhone berjalan hingga akhirnya terlihat, langkahnya ringan, gayanya tampak percaya diri.
Senyum Altais mengubah seluruh wajahnya. Gadis itu memperlihatkan ekspresi penuh canda. Ekspresi yang tidak mampu Rhone tiru, tidak peduli seberapa keras dia berusaha, meski ada begitu banyak kemiripan dalam penampilan mereka. Altais memiliki rambut gelap dan kulit pucat yang sama seperti Rhone. Juga alis yang tegas dan tulang pipi yang tajam.
Namun, meski ciri-ciri tersebut tampak lebih kasar pada Rhone, semuanya justru terlihat memesona pada Altais.
Karena tidak ada hal konstruktif yang bisa dikatakan, Rhone memutuskan untuk menyindir. “Kau memakai gaun?” Dia mengangkat sebelah alisnya. “Konyol sekali.”
“Kenapa?” Altais bersedekap, sarung tangan logam berhias permata di tangan kirinya berkilauan di tengah cahaya matahari hologram.
“Kau tampak seperti orang bodoh.”
Altais cemberut, satu tangan berbalut sarung tangan mengetuk-ngetuk sikunya. “Tidak peduli aku memakai gaun, baju zirah, atau tidak memakai apa-apa, aku masih bisa mengalahkan siapa pun yang berani menantangku.”
“Gaun hanya untuk gadis-gadis konyol dan bodoh.” Rhone menyeringai mengejeknya. “Aku menantangmu untuk membantahku.”
“Gadis konyol dan bodoh lebih baik daripada pemuda pemurung sepertimu, mengendap-endap di tengah kegelapan.” Altais mendengus. “Lagi pula, aku suka warnanya.” Rok gaun itu mengembang ketika Altais berputar di tempat, memancarkan serangkaian pelangi. Rhone mengenali kain gaun itu. Itu salah satu kain paling mahal, terbuat dari cynesilk yang dipintal dari ribuan untaian cermin mungil. Cermin-cermin yang terlalu kecil untuk bisa dilihat oleh mata telanjang. Terlalu banyak untuk dihitung oleh siapa pun.