Elara berada di tempat yang asing, bersama satu balita manis yang juga asing. Sebenarnya tidak terlalu asing karena entah kenapa anak perempuan itu mirip dengannya. Mungkinkah ayahnya menemukan ibu baru dan melahirkan adik untuknya. Bukankah itu gila?
Ia bangun dari posisi berbaringnya di atas ranjang, dengan satu balita lagi yang menatapnya penuh harap. “Apakah Mama baik-baik saja? Haruskah aku menelepon Papa?”
“Ahh, tidak apa-apa. Aku baik-baik saja.” Sekilas, Elara mengabaikan keanehan dari pertanyaan anak itu. “Aku dimana ini?”
“Di kamar Mama.”
Elara mengernyit heran. “Mama kita?” tapi anak di depannya itu hanya memiringkan kepala sedikit ke samping, ekspresinya kosong, seolah mencoba mengumpulkan makna dari pertanyaan Elara. Oke, mungkin bahasanya terlalu sulit di pahami anak kecil sepertinya. “Dimana Mama?”
“Di kamar Mama.”
Ekspresi Elara yang dibuat kebingungan sekarang. Dia menggaruk kepalanya sambil melihat sekitar dengan pandangan menyipit. “Ini kamar Mama?” gadis kecil itu mengangguk. “Dimana Mama? Kenapa aku bisa di sini?”
Anak itu tidak langsung menjawab. Dia menunduk dalam sambil menautkan jari jemarinya seolah gugup. Kakinya juga nampak tidak bisa diam di tempat. “Maaf, Ma. Tadi Elara tidak sengaja jatuhin kelerengnya.”
Kali ini ekspresi Elara benar-benar tidak tertolong lagi. Dia sudah sangat jelas kebingungan dengan satu matanya yang menyipit dan ujung bibir naik sedikit. “Elara?”
Teriakan histeris menyertai panggilannya barusan. Gadis kecil itu berteriak panik dan sudah bersimbah air mata ketika mengangkat wajah dan berlari naik ke ranjang untuk memeluk tubuh Elara. “Mamaaa! Elara minta maaf. Minta maaf. Maaf maa,”
Ada apa semua ini?
Elara berusaha mengingat hal terakhir yang ada di dalam otaknya. Kelereng? Sepertinya tidak ada hal seperti itu? Apa ia jatuh karena kelereng? Tapi apa maksud semua ini?
Elara memejam erat ketika kepalanya tiba-tiba berdengung sakit. Secara reflek tangannya beralih ke sisi kepala, menekannya dengan kuat berusaha menghilangkan rasa sakit yang menyerang di sana. Sedangkan gadis kecil yang tadi menangis sambil memeluknya semakin panik ketika mendapati ekspresi Elara yang kesakitan.
Gambaran tentang dia yang suatu malam berbicara berdua dengan bibi vera terbentuk dalam pikirannya. Ia berlibur di rumah teman dekat mamanya itu, yang penuh dengan nuansa menyejukkan hati.
Saat itu kepala Elara makin berdengung sakit dan gambaran dia menangis sedih malam hari membuatnya makin meringis dengan memegang kepalanya kuat-kuat. Kala itu, ketika dia tanpa sengaja menatap gambaran dirinya di cermin dengan kondisi lampu kamar yang mati, di belakangnya, ada beberapa kunang-kunang yang membuat pantulan dirinya di cermin tampak aneh dan menakutkan.
Sedangkan disisinya sekarang, tak berselang lama dari sakit kepala yang menyerang, seorang lelaki memasuki kamar dengan panik. Melihat anaknya yang menangis histeris dengan memeluk sang ibu, dia langsung meraih dan menenangkannya dalam gendongan, sambil sesekali mengecek wanita lain di ranjang.
Ketika Elara membuka matanya setelah rasa sakit hilang, hal yang pertama kali ia pikirkan adalah, dia sepertinya bukan berada di tempat yang seharusnya. Karena hal terakhir yang ia ingat setelah ketakutan dengan bayangannya sendiri di cermin, pintu kamarnya terbuka dan bibi Vera masuk.
‘Tuhan memberimu kesempatan, dan aku membukakan jalan’
Ia mulai menduga dimana sebenarnya dia sekarang sampai matanya yang kembali sadar melihat sang ayah menggendong satu anak perempuan. Anak yang tadi menangis karena merasa bersalah sudah membuat sang ibu jatuh dari tangga karena kelerengnya.
“Kau tidak apa-apa? Apa perlu ku antar ke rumah sakit?”