Becoming a Mother to Myself

Pens_Aether
Chapter #6

05 Teatea

Ketika Elara bangun keesokan harinya, Hector sudah berangkat kerja pagi pagi sekali jadi mereka tidak membahas ulang permasalahan lebih lanjut dari pemindahan sekolah Ara. Elara cukup kesal dengan itu, seolah papanya hanya ingin mengalihkan perhatian dan melupakan masalah itu tanpa melanjutkan.

Jadi, pagi ini, dia membuat Ara libur sekolah secara sepihak. Ia mengabari guru dengan alasan sakit namun tidak mengabari hector sama sekali. Membangunkan Ara agak siang lalu memandikannya, Elara berpikir mereka mungkin bisa menghabiskan waktu-waktu manis berdua di rumah.

Tapi masalahnya, anak itu cukup merepotkan untuk sarapan pagi. Elara bahkan berusaha menyuapi dengan sangat sabar namun tetap saja dia berenti di suapan ke dua. Bukan rasanya yang tidak enak, lagipun ini masakan Hector. Tapi anak kecil memang tidak suka makan, kecuali permen dan es krim.

Aakh ...

“Ara, mau bantu mama membuat milk tea nanti? Susu dengan teh lalu dicampur bola-bola kenyal, ditambah es. Waaahhh betapa enaknya ituuu ...”

Benar saja. Kelemahan anak kecil adalah manisan. Meski sepertinya Ara kurang paham apa itu milk tea tapi dia mendekat dengan sedikit minat. “Apa itu, ma?”

“Itu susu yang manis dan enak sekali.” Ara hanya sedikit bergeming. “Diluar, itu sangat digemari banyak orang. Sayangnya, papa pasti tidak mengizinkan Ara meminumnya karena tidak sehat. Tapi, kalau mama yang buat, seharusnya itu bisa dikecualikan.”

Tentu saja, anak kecil juga suka penasaran dengan hal-hal yang dilarang dilakukan oleh orang tuanya. Kini Ara bersemangat dan menggoyang-goyangkan lengan Elara untuk segera mengajaknya membuat milk tea.

Sayangnya, “Ara harus menghabiskan makan dulu. Baru boleh minum milk tea. Kalau tidak, perutnya akan sakit.”

“Okee ...” Dia mengambil sendok makannya sendiri.

Elara cukup bangga dengan pikirannya yang brillian dalam mengasuh Ara kecil. Dia merapikan kain makan di leher Ara untuk menghindari noda bercecer. Mengingatkan anak itu untuk menghabiskan makanannya sebelum ia menuju dapur mengecek bahan-bahan.

Dia cukup mahir dalam membuat menu ini. Selain karena dia suka membuatnya di rumah untuk camilan, terkadang dia juga menjualnya di sekolah ketika ada event.

Membuka setiap laci lemari dan juga kulkas, ia menemukan semua yang dibutuhkan kecuali cocoa powder. Meski ada resep juga yang tidak menggunakannya tapi dia lebih suka jika menggunakannya.

Jadi ia memesan melalui aplikasi smartphone. Itu bertepatan dengan Ara yang selesai makan dan membawa piring kosongnya untuk diletakkan di wastafel. Dia mencuci tangan lalu berdiri menghadap Elara dengan senyum bangga. Seolah berkata, ‘lihat, aku menghabiskannya tanpa sisa’

“Bagus. Ara akan tumbuh besar dan cantik nanti.” Ia mengacak-acak rambutnya.

“Mama, kapan kita akan membuat teatea.”

Elara menahan senyumnya. “Milk tea.” Dia membenarkan. “Setelah ini. Kita membutuhkan satu bahan lagi untuk membuatnya. Dan paman kurir akan mengantarnya setelah ini.”

“Kurir? Apa itu?”

“Itu adalah orang yang mengantarkan barang kita.”

“Kenapa dia mengantarkan barang kita?”

“Karena itu pekerjaannya.”

“Apa itu pekerjaan?”

Elara berpikir sejenak untuk menyusun kalimat sesederhana mungkin. “Pekerjaan itu kegiatan untuk menghasilkan uang. Sama seperti papa yang bekerja untuk menghasilkan uang untuk Ara.”

“Waahhh,” anak itu takjub. “Apakah menghasilkan uang yang banyak? Apakah seratus? Ara juga ingin jadi kurir.”

Elara terkekeh pelan. Fokusnya bukan ke Ara yang ingin menjaid kurir. Tapi ke angka seratus. “Ara ingin punya seratus?”

“YAA ...,” jawab anak itu antusias. “Seratus itu sangaaat banyaaak. Apakah mama punya? Seratus itu bisa beli banyaaak sekali permen dan mainan.”

“Memang seberapa banyak itu seratus?”

“Eeee ...,” gadis kecil itu tampak berpikir. Membuka jari jemarinya satu persatu sambil menghitung. “Satu, dua, tiga, empat, lima, limaa… Limaa… Sepuluh? Seratus?” Elara kali ini benar-benar tertawa lepas. Ia tidak tau bahwa anak kecil selucu itu. Mereka adalah manusia yang menganggap seratus bisa membeli satu dunia.

“Jadi, berapa itu seratus?”

Ara mengangkat kepalanya yang tadi menunduk menghitung jari. “Mama, setelah lima, berapa yaa?”

“Enam.”

“Yaa, enam,” gadis itu menunduk lagi untuk menghitung jarinya. Tapi mulutnya tetap berhenti di angka enam tanpa melanjutkan. Akhirnya dia menyerah dan menatap mamanya lagi. “Pokoknya, maaa, seratus itu sangaat sangaat banyak. Kata temanku, aku bisa membeli gajah di kebun binatang untuk dipelihara.”

Elara tidak bisa meredakan senyuman lebarnya. “Waahh. Tapi pekerjaan papa uangnya lebih banyak daripada seratus.”

Ara membuka mulutnya terkejut. Lalu kemudian melompat-lompat girang dengan berteriak, “Papa kaya papa kaya!!!” berulang kali. Elara menghentikan tingkah anak itu sebelum jatuh.

Beberapa menit kemudian pesanannya datang dan ia mulai menyiapkan semua bahan-bahan untuk membuat milk tea. Ia menarik satu kursi lebar dari meja makan agar Ara bisa berdiri sejajar dengan pantry masak. Anak itu memperhatikan dengan penasaran.

Lihat selengkapnya