“Andaru, kita sepertinya perlu bicara,” katamu di meja makan, berhasil membuat kerutan di sepasang alisku.
“Ya bicara saja. Apa?”
“Ini serius sekali...” kalimatmu seperti tertahan, ragu-ragu melanjutkan.
Sambil melirik Ali dan Anna yang sedang asik makan aku setengah berbisik, “kalau serius, tunggu anak-anak selesai dan masuk kamar saja!” Jawabku disertai senyum.
“Ali, Anna, nanti kalau sudah selesai makan, kalian belajar di kamar duluan ya!” Suaramu ramah, seperti biasa ketika bicara kepada anak-anak kita.
“Siap, Bunda!” Ali menjawab mantap.
“Kak Ali nanti bantu Adik mengerjakan pelajarannya ya!” Aku mengusap lembut kepala Ali, ia mengangguk.
Mereka berdua pergi ke kamar beberapa saat setelahnya, sambil membantumu membereskan bekas makan malam kita, aku memulai percakapan yang katamu serius itu. “Timur, apa yang ingin kau bicarakan sayang?” Jam di dinding menunjukkan pukul 19.53 WIB.
“Aku harus jujur…” kau menatap lekat mataku, mendekat. “Aku mencintaimu, Andaru,” lanjutmu diiringi tawaku yang begitu renyah.
“Anak-anak belum tidur, sayang.” Aku tersenyum nakal.
“Aku serius.”