Pukul 22.15 WIB.
Aku menutup pintu kamar anak-anak, kembali ke kamar kita. Wajahmu tenang dibalut mimpi. Kukecup keningmu wanita setiaku, lalu menatap bibir merah yang tak pernah sudah mengundang gairah. Memilih jatuh hati padamu adalah takdir, menikahimu adalah keputusan. Sejauh kita bersama, kau tetap kupandang sebagai cinta. Meski seringkali bertanya: ada apa?
Kenangan masa lalu kembali.
***
Masa-masa SMA kami di kampung jauh berbeda dengan mereka yang di kota. Aku, Burhan, Duhar dan Maryani selalu berangkat bersama pada pagi yang belia, kami adalah empat sekawan yang tak terpisahkan, sedari kecil bersahabat. Naik sepeda dari kampung menuju kecamatan yang berjarak 3 KM tidak menghalangi anak-anak yang menuntut ilmu dari kampung kami, meski menempuh jalan yang sebagian tak beraspal sehingga ketika hujan menjadi sangat becek, tambah lagi kemiringan jalanannya karena dusun Butuh di desa Temanggung, kecamatan Kaliangkrik ini merupakan dusun tertinggi di kabupaten Magelang, Jawa Tengah. 1.620 meter di atas permukaan laut terletak tepat di kaki Gunung Sumbing, cuaca dingin sudah menjadi bagian dalam keseharian kami.
Persahabatan paling indah dianugerahi Allah kepada kami. Siapa yang tak mengenal empat sekawan. Sebut saja nama Burhan, maka orang-orang akan menjawab, oh anaknya orang terkaya kedua di kampung ini. Duhar, si anak muda gendut yang Ayahnya punya banyak tanah warisan. Maryani, anak perempuan paling pemberani di kampung ini. Andaru, anak Tukang sayur yang ditinggal mati Ayahnya. Namaku dikenal dengan sebutan paling menyedihkan.
Kami berempat pernah diam-diam ingin mendaki Gunung Sumbing. Namun kami hanya bisa menaiki sampai kaki gunung tertingginya saja. Aku, Burhan, dan Duhar tidak berani naik lebih tinggi lagi kecuali Maryani. Karena satu banding tiga, dia kalah. Terpaksa ikut duduk. “Payah kalian! Anak laki, naik gunung saja tidak berani.” Perdebatan terjadi, perang mulut pun terulang kembali. Maryani memang anak perempuan paling berani di dusun ini. Jika orang takut dengan hantu maka Maryani tidak, hantulah yang takut padanya. Haha.
Malam itu, sepulang dari Masjid, Duhar menyapa. Dia mengiringi langkahku.
“Wes ping empat kali setiap hari selasa awakmu ndak masuk sekolah, Daru.” Duhar khawatir, suara jangkrik malam terdengar di kejauhan saat kami melintasi pesawahan, bulan separuh bersinar terang membuat kampung kami begitu benderang. “Awakmu dodolan maneh?”