Pukul 22.30 WIB.
Aku masih betah menatap wajahmu, Timur. Bapak pernah berkata padaku, jika sedang marah atau kecewa dengan orang yang kita sayang, cobalah tatap wajahnya ketika terlelap. Maka marah itu akan luluh, perlahan menjauh. Timur, aku tak bisa menerjemahkan perasaanku saat ini. Semua yang kutahu adalah aku mencintaimu, sesederhana itu.
Kembali kukecup mesra keningmu, lantas tersenyum dan menepis segala buruk sangka. Toh kamu pilihanku, apapun resikonya. Kenanganku kembali pada suatu senja di tahun 1997. Kau tentu masih mengingatnya, bukan?
***
“Aksa, bantu Emak membersihkan semua ikan-ikan ini ya, Abang mau keluar sebentar!” Aku memerintah adik lelakiku satu-satunya itu sambil memutar balik posisi sepeda sepulang dari sungai memancing. Hasil yang tak seberapa itu masih cukup untuk kami sekeluarga. Aksara tidak menjawab, ia langsung mengambil ember kecil itu, segera masuk menuju dapur. Aku pergi mengayuh sepeda bututku yang setia menemani, menuju bukit di belakang dukuh kami, tempat biasa untuk menyendiri. Ada beberapa bukit di lereng Gunung Sumbing. Dari atas sana, pemandangan keseluruhan kabupaten Magelang, Wonosobo, dan Temanggung dengan cakupan hampir 180 derajat. Tiga kabupaten yang terletak dikaki Gunung Sumbing terlihat di kejauhan.
Aku menyandarkan sepeda di batang pohon saru yang berdiri kokoh dan lebat tepat di pinggiran bukit ini, di bawah sana seisi kampung kecil kami terlihat indah, sementara di langit barat senja mulai menampakan diri.
Aku duduk di bangku kayu yang kakinya tertancap di tanah. Almarhum Bapak yang membuatnya ketika aku berusia tujuh tahun, disinilah aku-hampir setiap hari melepas senja berpulang ke tempat peraduannya. Angin sepoi-sepoi berembus mesra menggoyangkan dedaunan pohon saru dan pohon-pohon lainnya, serta rerumputan di bukit, menambah indah suasana. Menatap langit luas tak bertepi pandang, menerawang masa depan yang tak akan mampu kubayang. Memikirkan masa depanku, adik-adik dan Emak membuat otakku bekerja lebih keras memikirkannya.
Ketika sedang asyik berdialog dengan pikiran-pikiranku sendiri, saat itulah terdengar suara penyangga sepeda yang diturunkan. Alangkah terkejutnya aku saat menoleh ke belakang, dadaku bagai dibelah berkali-kali melihat sosok yang datang ini. Kau tiba dengan sepeda biru muda, berwarna sama dengan baju terusan polos sebetismu dan rambut panjang selengan yang terikat bak ekor kuda, memperindah wujudmu, di keranjang sepeda terletak seikat ilalang, kau mengambilnya.