Pukul 23.00 WIB.
Di luar hujan masih bertugas. Perintah Tuhan harus selalu dipatuhi oleh para alam. Mataku pun masih sulit diajak berhenti dari keterjagaan. Acapkali tersentuh jika membayangkan wajah Emak bertahun silam. Entah berapa ratus purnama terlampaui tanpa melihat wajah hangat nan meneduhkan itu.
Perasaan selalu terbawa haru jika mengingat yang dulu-dulu.
***
Maryani menghilang. Hal ini berkaitan dengan dua orang pemuda tempo hari yang menemui Emak.
“Mungkin dia sakit dan belum sempat mengirim surat ijin.” Duhar berkomentar, kami berada di bawah pohon mangga. Berbagai kemungkinan kami diskusikan, mengingat Maryani adalah murid yang sangat rajin turun, jarang sekali alpa di sekolah. Kecuali pada saat jatuh sakit, itu pun Ibunya pasti menitip surat izin melalui kami.
“Atau jangan-jangan….” Mata Duhar melotot, mulutnya menganga, aku dan Burhan terdiam saling tatap, menunggu kelanjutan. “...apa kalian belum tahu, Bapaknya Maryani terlibat hutang dengan Engkoh Acong, rentenir paling kejam di kota kabupaten.” Duhar melanjutkan dengan gaya ekspresifnya. Burhan sempat menyangkal, namun Duhar memberikan dugaan yang kuat. Kami memutuskan datang ke rumahnya hari itu.
“Ada perlu apa kalian mencari anakku? Bukankah sudah sering kubilang, Maryani itu perempuan kalian seharusnya jangan berkawan dengan dia.” Belum bertanya apa-apa kami sudah dituding Bapaknya. Masih mengenakan seragam sekolah, kami bertiga berdiri gugup di hadapan Bapak Maryani.
“Tidak.” Bapak Maryani memotong Burhan yang baru saja ingin bicara, dia turun dari rumahnya tepat ketika sebuah mobil pikap datang. “Sudah, kalian pulang saja. Maryani baik-baik saja.” Bapak Maryani pergi bersama seorang lelaki tua botak menuju jalur kecamatan. Mobil itu, lelaki botak. Itu mobil yang pernah mampir ke rumah kami.
“Sudah kuduga, kalian tahu siapa orang tua botak itu?” Duhar merangkul bahuku dan Burhan, kami merapat. “Dia anak buahnya Engkoh Acong, mereka pasti pergi ke kota kabupaten. Sudah ramai sekali ibu-ibu kampung ini membicarakan Bapaknya Maryani, sudah jarang sekali pulang ke rumah, katanya. Bapakku kenal sekali dengan Engkoh Acong itu, mereka pernah jual beli tanah. Makanya aku tahu laki-laki botak tadi, dia pernah datang ke rumah kami.” Duhar bercerita dengan gaya penuh ekspresif.
Aku berjalan menaiki teras rumah Maryani yang tampak sepi dan serba tertutup, mengetuk pintu seraya mengucap salam. Namun tak ada jawaban sama sekali bahkan di salam yang ketiga. “Hei, kemana gerangnya Maryani?” aku berbalik bertanya serius, Burhan dan Duhar mengangkat bahu. Anak buah Engkoh Acong? Mataku menyipit, menduga sesuatu.