Pukul 23.30 WIB.
Aku mengembalikan pigura putih kecil itu ke atas lemari laci, di luar masih tersisa gerimis, hujan mereda tetapi kenangan masih tidak. Malam seolah sengaja menyetubuhiku dengan kenangan masa lalu. Aku berpindah ke sampingmu istriku, bersandar di kepala ranjang. Kubelai lembut kepalamu, Timur, suara nafasmu terdengar pelan. Semoga kau hanya kelelahan, sayang.
***
Semenjak itu persahabatan kami yang dibangun sejak kecil mulai retak, bukan karena kami saling bertengkar tapi karena hal-hal yang tak pernah kami duga sebelumnya. Enam bulan berlalu begitu saja tanpa benar-benar terasa, aku membantu Emak di ladang, bekerja serabutan di sawah, mengangkut karung-karung beras yang akan dikirim ke kota, membuat sapu lidi dari daun kelapa, hingga berjualan dari pasar ke pasar. Sedikit berbeda sebab Maryani tak ada, sungguh dia salah satu teman sekaligus wanita kuat yang pernah kukenal. Hingga kini tak ada kabar darinya.
Aku sudah jarang berkumpul dengan Burhan dan Duhar, selain karena memang mereka juga sibuk dengan orang tuanya masing-masing, juga karena aku harus mengumpulkan uang sebanyak mungkin. Aku mengambil tiga celengan berbentuk ayam dari bawah ranjang kayuku, menatapnya gamang. Celengan ini telah sampai pada masanya harus pecah. Mengumpulkan uang 27 juta sungguh bukan perkara mudah. Enam bulan terakhir kami hanya bisa membayar 1 juta rupiah, 250 ribu per bulan. Dalam satu bulan mengais uang senilai itu saja harus dengan mengorbankan banyak waktu. Kami sedikit beruntung karena Engkoh Acong mengabulkan permintaan Emak, semampu kami per bulan. Bahkan Aksara ikut membantu, memancing ikan di sungai untuk makan kami. Sementara Andini, melakukan pekerjaan rumah sebagaimana anak perempuan semestinya sebelia ini. Tak pernah sedikit pun kami menyalahkan Bapak, atau menyesali semua ini. Hutang itu murni karena ketidaksengajaan, bukan karena hutang uang semata. Itu yang selalu kuingat.
Hari-hari terasa sangat sibuk, seolah tak kan pernah ada hari esok. Sebisa mungkin memanfaatkan waktu di luar sekolah, terutama di akhir pekan.
Akhir pekan yang seharusnya kunikmati bersamamu di bawah pohon, bercerita tentang apa saja terpaksa harus tertunda, adakah kau datang meski tanpaku di sana?
“Andaru, mengapa perpisahan itu harus ada?” Tanyamu kala itu, membuat bekas sembilu di dadaku kembali terasa ngilu.
Aku menjawab sedikit terbawa perasaan, perpisahan telah memutus waktuku bersama Bapak, “sebab tak ada yang abadi di dunia ini.”
Kau tak langsung menjawab, matamu selalu memandang langit dengan sayu yang berusaha kau damaikan. “Papa pergi meninggalkan kami.”