Pukul 23.45 WIB.
Entah karena terbawa perasaan atau suasana, terasa ada yang basah dalam mataku. Apalagi jika bukan air mata. Seringkali kubertanya kepada diri sendiri, secengeng itu kah aku? Mudah tersentuh saat mengingat luka-luka lama yang menolak kata lupa. Aku meraih tanganmu, menciumnya pelan. Mimpi apa yang sedang menghiasi tidurmu, sayang?
***
Suatu senja, 1998.
Usia kita saat itu 16 tahun, kau tak berbeda jauh dariku, lebih muda enam bulan. Jika boleh berterus terang, perasaanku padamu waktu itu bukan main-main, Timur. Sulit kuungkapkan betapa spesialnya engkau di mataku. Tak pernah ada pengakuan tentang perasaan sekalipun di antara kita. Mungkin hati kita belum bersedia dipaksa, waktu lebih perkasa menemani benih-benih rasa itu tumbuh menua. Memilih menyimpan merupakan sebaik-baik keputusan. Meski kuakui, pernah terjadi cinta monyet di antara aku dan Astri saat masih duduk di bangku SMP. Jatuh cinta sesaat. Astri berhenti sekolah, dia menikah dengan lelaki yang masih kerabat jauh Bapaknya di ibu kota. Sehabis kejadian itu, aku tak ingin lagi merasakan jatuh hati. Bukan karena hatiku telah patah ditinggal nikah oleh Astri, namun karena memang belum ada yang bisa memetik jantungku. Namun ternyata itu tak berarti lagi sejak kau hadir, Timur. Meski kau tak benar-benar memetik jantung itu, aku siap menjatuhkannya untukmu.
“Kami akan kembali ke Jakarta selama liburan, masih ada beberapa berkas dan sidang yang harus ditangani langsung oleh yang bersangkutan.” Kau menceritakan rencana keberangkatanmu lusa. Soal perceraian kedua orang tuamu yang masih belum tuntas. Kesibukan Ayahmu sebagai pengusaha menunda persidangan.
“Semoga kau dan Ibu bisa menyelesaikan semuanya. Kalian pasti bisa!” Aku menyemangati meski semangatku sendiri berkurang tak pasti.