Pukul 00.00 WIB.
Aku keluar menuju balkon kamar kita. Hujan berhenti sempurna menyisakan aroma basah. Bintang-bintang mulai menampakkan diri, langit tengah malam Yogyakarta begitu jernih, hujan datang menghapus segala debu. Sepuluh tahun tinggal di kota ini dari awal kita menikah, tak sekalipun keharmonisan dalam rumah berkurang, seistimewa kota Yogyakarta. Rasa cinta memang mampu mengalahkan segala kekurangan. Aku meletakkan kedua siku di atas pagar balkon, menatap malam separuh usia. Masih terdengar tetesan sisa air jatuh dari genteng.
***
“Engkoh sudah bosan mendengar alasan kalian! Dia perlu uang banyak untuk memutar bisnisnya kembali.” Seorang lelaki berbadan besar dengan brewok lebat di wajahnya berkacak pinggang di depan rumah kami.
“Iya Pak, maaf, selalu kami usahakan.”
“Kalau sampai bulan depan bayaran masih begitu-begitu saja, kami sita barang-barang di dalam rumah ini.” lelaki itu mengingatkan lagi.
Aku yang sedari tadi tertegun sejenak mendengar percakapan mereka melangkah menaiki teras kami, mengerti apa yang sedang terjadi. “Engkoh Acong sendiri yang menyetujui pembayaran semampu kami.” Tatapanku tajam kepada lelaki itu.
“Benar, tapi Engkoh bisa berubah pikiran melihat kondisi keuangan usahanya. Namanya utang ya tetap utang. Harus dibayar. Kalian jangan banyak alasan!” Jari telunjuk pria itu hampir saja menunjuk wajah Emak jika saja tanganku tak bergegas menurunkannya.
“Tunggu di sini dan jangan berani masuk!” Ucapanku pelan namun menusuk dengan nada tidak suka. Dia tak menjawab, menghisap batang rokoknya yang tinggal setengah.