Beda

Rolly Roudell
Chapter #11

Surat Pertama Darimu

Pukul 00.30 WIB.

Aku kembali turun ke lantai satu rumah kita, menuangkan air panas ke dalam gelas kecil berisi kopi bubuk kemasan. Kenangan ini seperti membutuhkan banyak waktu dari sebelumnya. Meminta dijamah sampai batas semampuku. Pintu kamar anak-anak kubuka lagi. Mereka terlelap di antara remangnya lampu tidur. Aku menaikkan suhu pendingin ruangan mereka ke angka 25 derajat celcius.

Kembali ke atas balkon kamar, kini gelas kopi yang mengepulkan asap panas itu kuseruput pelan. Kembali memandang di kejauhan, aku seolah melihat seorang anak muda dengan rambut setengah gondrong sedang mengangkat karung-karung semen di pundak dengan keringat membasahi sebagian bajunya. Anak muda yang ternyata akan menjadi suamimu, Timur.

***

Pergi ke kota Magelang bersama Sukirman, salah satu pemuda kampung kami yang diberi gelar bujang lapuk. Karena ia sampai sekarang, di usianya yang 35 tahun, masih belum menikah juga. Meski bagiku itu hak dia, karena yang menjalani adalah dia sendiri namun gelar itu semacam hal wajib bagi masyarakat kampung. Bahkan bagi mereka, anak gadis yang lewat 20 tahun usianya sudah dianggap agak susah mendapat jodoh. Namun aku kagum dengan Mas Sukirman, dia tidak peduli dengan omongan orang. Toh baginya yang penting bisa bekerja demi sesuap nasi saja sudah cukup. Siapa tahu sebentar lagi dia akan menikah juga.

Tempo hari sebelum meminta izin Emak, aku sudah terlibat perbincangan serius dengan Mas Sukirman di pos kamling RT 2, beberapa orang sedang santai bermain catur dan gelas-gelas kopi hitam di atas meja menemani. Aku bertanya barangkali ada pekerjaan yang bisa kuikuti bersama Mas Sukirman, malam itu cukup beruntung, karena ia memang butuh satu orang lagi untuk bekerja secara borongan mengangkut material pembangunan sejumlah ruko di kabupaten. “Upahnya lumayan, Dar.” Mas Sukirman meyakinkan. Jelas itu peluang besar bagiku, kami berunding secara matang malam itu.

Di kota kabupaten Magelang, kami tinggal di rumah yang dibangun sementara dari bahan-bahan seadanya semacam tripleks dan beberapa balok beratapkan seng. Seorang tukang borongan mencari buruh sebanyak sepuluh orang, Mas Sukirman dan aku salah satunya. Mas Sukirman sudah lama ikut bekerja dengan orang itu.

“Andaru, kemari sebentar kau!” Mas Sukirman memanggilku yang sedang menurunkan karung-karung semen dari truk.

Aku menghampirinya, “iya, Mas?”

“Mari kita makan!” Mas Sukirman menyodorkan sebungkus nasi padaku. Kami istirahat makan di tengah hari nan terik.

Sepuluh hari aku ikut bekerja sebagai buruh borongan bersama Mas Sukirman, satu hari sebelum liburan berakhir kusisakan untuk istirahat di rumah. Hasilnya alhamdulillah. Aku mendapatkan 5 juta, lima ratus ribu per hari. Namun tentu dengan beban pekerjaan yang tak mudah, jam kerja pun tak tentu, kadang selesai jam sepuluh malam. Empat juta dari uang itu kami serahkan kepada Engkoh Acong, sisanya untuk kebutuhan rumah.

Tak terasa besok sekolah kembali masuk, liburan semester telah berakhir. Siang itu aku sedang berbaring di kamar sambil membaca buku. Pintu rumah kami diketuk, seorang lelaki mengucap salam.

“Ada surat untuk Andaru.” Tukang pos itu menyerahkan amplop setelah ia memastikan surat itu beralamatkan rumah kami.

Lihat selengkapnya