Beda

Rolly Roudell
Chapter #12

Surat Terakhir Darimu

Pukul 01.00 WIB.

Setengah gelas kopi telah memasuki lambungku. Aku masih mengingat-ngingat tentang dulu. Langit malam menjernih di atas sana.

***

Waktu tak terasa, berlalu begitu cepat. Aku sudah memasuki semester kedua di kelas 3 SMA. Sebentar lagi ujian nasional akan dilaksanakan. Satu tahun lebih sudah sejak kau kembali ke Jakarta, aku sudah terbiasa dengan apa yang tersisa, Timur. Sebab masih bisa bertanya kabar melalui surat sudah lebih dari cukup bagiku. Dalam kotak kecil di kamarku, 19 surat yang kuterima darimu masih tersimpan rapi. Banyak hal kita bicarakan, selayaknya ketika duduk di bawah pohon saru. Kita membahas tentang lumbung padi di sawah Bude Latifah, surau yang mulai direnovasi menjadi lebih besar, Mas Sukirman yang telah melepas gelar bujang lapuk di desanya dengan menikah bersama wanita asal sumatera, hal itu menjadi tamparan keras untuk warga kampung ini yang mengejeknya. Tentang Andini yang rajin belajar bahasa inggris dengan buku dan kamus pemberianmu, Aksara yang masuk SMP, sekolah barumu yang biasa-biasa saja, keadaan Ayahmu juga sudah lama sehat, Ibumu kembali ceria seperti dulu, dan masih banyak lagi. Kita sudah terbiasa dengan surat meski butuh waktu lama mengirim dan menerimanya. Seperti yang kau bilang bahwa jika semua huruf dirangkai, maka milyaran kata tiada habisnya untuk merampungkan perbincangan kita.

Hari itu aku membuka kembali kotak coklat di kamar, mengambil surat terakhir kuterima satu bulan yang lalu. Ini kali ke tujuh aku membacanya. Surat yang mengkhawatirkan. Kabar buruk pertama yang kuterima sekembalinya kau ke Jakarta.

Andaru, assalamualaikum.

Ingin rasanya memulai isi surat ini dengan sebuah pantun, namun sayang, aku tak pandai menulisnya. Jika pantun berisi makna, makna surat-surat yang selama ini telah kukirim juga tak kalah makna.

Kau tahu, Andaru, selama ini tidak banyak tentang keluargaku yang kuceritakan padamu. Keluarga yang sempat retak ini ternyata masih belum tentu berakhir bahagia. Sebab ternyata, istri pertama Ayah datang menemui kami beserta sumpah serapahnya. Tak mengapa walau berjuta kutukan dilimpahkan sambil menunjuk-nunjuk wajahku asal jangan Ibu. Tak bisa kubayangkan basah luka yang belum sepenuhnya kering harus kembali tergores lebih dalam lagi. Pedih itu tentulah menikam Ibu tanpa belas kasih.

Aku tidak mengerti jalan pikiran Ayah. Andaru, jangan kau jadikan kabar ini beban pikiran. Sebab hanya mencurahkan keluh kesah saja tujuanku. Kau tempat ternyaman untuk bercerita selama ini. Bagaimana kabar kalian disana, sehat, bukan? Apa kau, Burhan, dan Duhar ada mendengar kabar dari Maryani barang sedikit sejauh ini? Semoga dia selalu dalam lindungan Allah. Begitu pula kita semua.

Salam Hangat, Langit Timur.

Lihat selengkapnya