Pukul 01.30 WIB.
Sekembalinya aku dari balkon kamar kita, kini, memilih berbaring lagi di sampingmu adalah hal yang tepat. Suara nafasmu terdengar pelan, Timur. Aku berbaring menyamping ke kiri, wajah kita sangat dekat. Nafasmu menyentuh leherku, terasa hangat. Saat terlelap begini, sering aku memandangmu diam-diam, kau begitu cantik. Momen paling cantikmu adalah ketika sholat, sehabis melahirkan, saat merajuk padaku, dan sekarang, saat sedang tertidur pulas.
***
“Jadi, kau ini anaknya Arifin?” Engkoh Acong merapikan posisi kacamatanya.
“Betul, Engkoh. Saya datang bersama teman saya, Duhar.” Aku melirik Duhar di depan toko samping rumah Engkoh Acong yang sedang menghitung kotak-kotak barang.
Engkoh Acong mengikuti pandanganku, “Oh iya, Duhar anaknya Pak Mamad. Kenapa kau datang kemari?” Logat cina tak bisa hilang dari caranya berbicara.
“Ibu menitipkan ini untuk Engkoh, kami minta maaf karena terlambat lagi membayarnya, Engkoh.” Sedikit tertunduk sambil menyerahkan uang itu.
“Hutang kalian sudah lunas. Sudah ada yang membayarnya sekitar tiga bulan lalu. Kerabat kalian sendiri, katanya.” Dia mendorong kembali uang di atas meja itu padaku.
Bagaimana tidak, kagetku bukan kepalang. Setengah melotot mendengarnya, “siapa Engkoh? Apa orang itu meninggalkan pesan?”
“Hanya ada surat berisi keterangan bahwa uang yang dikirimnya itu untuk melunasi hutang Ayah kau. Bilang bahwa dia masih kerabat kalian. Itu saja.” Engkoh Acong menjelaskan santai, “sudahlah anak muda, hutang kalian sudah tidak ada. Aku juga tak tahu siapa dia, yang penting uangku bisa kembali.” Aku terdiam beberapa saat dibuatnya. Kurasa tidak perlu aku menceritakan kepada Engkoh bahwa kerabat kami hampir tidak ada yang kukenal, terlalu banyak kisah belum terpahami. Namun aku teringat sesuatu seketika.
“Engkoh, boleh saya bertanya?” Aku menatapnya ragu-ragu.
Lelaki tua bermata sipit itu memicingkan matanya, “Bertanya apa?”
“Engkoh tahu di mana keluarga Syaiful sekarang tinggal?” Sudah lama aku butuh tahu keberadaan Maryani.
“Syaiful lelaki pengecut itu? Hahaha…. dia sudah kawin lagi, anak bininya dia tinggalkan. Saya tidak tahu.”
Sepanjang perjalanan pulang, aku tak hentinya berpikir siapa orang yang melunasi hutang kami dan tentang Ayah Maryani yang telah menikah lagi. Tadinya kuberharap Engkoh Acong tahu di mana Maryani tinggal agar kami bisa singgah sebentar menemuinya. Aku jadi pusing sendiri memikirnya, masih bingung apa harus senang atau tidak. Hutang itu sudah lunas. Berarti tak ada lagi yang mengganggu, setidaknya Emak bisa bekerja lebih santai untuk hidup kami saja. Tapi siapa, mengapa, kenapa, bagaimana dan di mana? Rumus utuh sebuah berita bergabung jadi satu.