Beda

Rolly Roudell
Chapter #14

Rumah Makan Cina

Pukul 04.15 WIB.

Suara Adzan subuh mengembalikan nyawaku. Terbangun perlahan, menyadari bahwa aku tertidur. Aku bersandar di kepala ranjang, menguap beberapa kali. Ketiduran dari kenangan panjang. Kau disampingku, suara nafasmu masih terdengar pelan. tanganku sudah menyentuh bahumu, ingin membangunkanmu menunaikan sholat subuh, namun aku baru ingat bahwa kau sedang datang bulan. Mengajakmu sholat subuh berdua salah satu kebiasaanku.

Aku bangun sendiri. Menyalakan lampu di kamar anak-anak.

“Ayo sayang, sudah subuh, Nak!” Anna berbalik, badannya menggeliat. Sementara Ali membuka berat kedua matanya. “Sholat dulu, nanti boleh lanjut tidur!” Aku mematikan pendingin ruangan. Hari minggu biasanya kita selalu membebaskan anak-anak untuk tidur lagi atau bermalas-malasan. Satu minggu mereka disibukkan dengan sekolah, akhir pekan mereka adalah waktu bebas mereka. Hal itu yang selalu kau ingatkan padaku, Timur. Kau istri yang selalu memberi pengertian agar aku memahami.

“Ayah ke masjid?” Ali sudah duduk.

“Iya, sayang. Kau ikut ayah, kan. Mari siap-siap!”

Dinginnya air subuh hari, selalu memberi rasa semangat. Penghilang kantuk. Di hadapan cermin dalam kamar mandi, aku menatap bayanganku sendiri. Mandi sebelum subuh tak pernah berubah rasanya. Seperti bertahun-tahun silam, di mana aku membutuhkan banyak semangat untuk berangkat pagi-pagi mencari rezeki.

***

“Andaru, lamanya kau mandi!” Surya menggedor pintu kamar mandi. Tak kuhiraukan. Aku keluar dengan handuk menggantung di leher, melihat sosok itu berdiri kesal di depan pintu.

“Siapa suruh lambat bangun?” aku terkekeh, Surya tak menjawab, ia mendorong tubuhku.

Di wajahmu kulihat bulan

yang mengintai di sudut kerlingan

Sadarkah tuan

kau ditatap insan

yang haus akan belaian

Di wajahmu kulihat bulan

menerangi hati gelap rawan

Suara Surya tak kalah nyaring dari keran yang memuntahkan air. Kebiasaanya, mandi sambil bernyanyi. Selalu lagu itu yang dilantunkan, entah berapa juta kali kudengar. Namun rasanya tak pernah berubah, lagu itu mengingatkanku pada seseorang. Sepagi buta ini, suara Surya mengundang ngilu hatiku. Kubuka jendela kost kami, udara subuh masuk, sayup-sayup suara adzan menusuk relung kalbu. Sambil mengenakan sarung, kepalaku bertanya-tanya: adakah surat-surat yang kukirim telah kau baca, Timur?

Biarlah daku mencari naungan

di wajah damai rupawan

Serasa tiada jauh

dan mudah dicapai tangan

Ingin hati menjangkau

kiranya tinggi di awan

Sering ku meminta Surya agar mengganti lagu lain, ia malah menudingku, “pasti lagu ini mengingatkanmu dengan seseorang, toh?” Wajahnya sumringah. Jadilah dia semakin sering menyanyikannya, bagian dari kesengajaannya. Meski jujur, sekali lagi, lagu itu mengundang pilu, di depan cermin, aku menyisir rambutku, memasang peci. Kumis dan janggut tipis menumbuhi sebagian wajahku. Di usia 21 tahun, barangkali aku termasuk cepat memiliki brewok. Faktor genetik yang kuwarisi dari Bapak.

“Sur, aku duluan yo!” teriakku.

Ash shalatu khairum minan naum, ash shalatu khairum minan naum.

Masjid kecil di gang sebelah menjadi tempat mengadu sebelum cahaya. Langit Yogyakarta masih gelap, menunggu matahari bangun dari tidur panjangnya. Aku memasuki pagar masjid yang di gerbangnya tertulis Al-Furqon. “Jangan pernah tinggalkan shalatmu, Andaru. Bagaimanapun keadaanmu!” pesan terakhir Emak saat mengantarkanku di depan teras rumah, berangkat ke Yogyakarta. Mas Sukirman dan Istrinya kebetulan pulang kembali ke Yogya setelah menengok keluarganya di desa, aku menumpang mobil mereka. Meski awalnya sulit mencari pekerjaan di Yogya, melamar sana sini. Akhirnya aku diterima sebagai tukang cuci piring di sebuah rumah makan cina. Mandor rumah makan itu memutasiku ke bagian pelayan sebab satu orang mengundurkan diri karena menikah. Setelah dua bulan bekerja aku pamit ke Mas Sukirman dan istrinya yang sudah suka rela menampungku. Satu kosan dengan Surya, yang menjadi sahabatku selama tinggal di Jogja. Dua sudah meninggalkan kampung halaman tercinta. Dua tahun ini banyak sekali menanggung kerinduan. Emak dan kedua adikku, kampung tersayang, dan kau, Timur. Dua tahun setengah lebih tak kudapatkan lagi balasan surat darimu. Sudah sering kukabarkan alamatku di Jogja pada surat-surat yang telah kukirim.

Sepulang dari masjid, aku buru-buru kembali ke kos. Tak ada waktu santai selama bekerja kecuali hari minggu. Menuangkan air panas ke atas teh di atas saringan kecil. Surya sudah berbaju rapi, mendekat. Dia melirik wajahku.

Lihat selengkapnya