Pukul 05.00 WIB.
“Yah, Ali tidur lagi boleh, kan?”
“Iya, sayang. Boleh.”
Tangan Ali dalam genggamanku, kami berjalan pulang dari Masjid di luar komplek ini. Sesekali aku melihat langit di atas sana, masih tampak gelap, mungkin karena bekas hujan semalaman. Sampai di rumah, Anna sudah lebih dulu kembali terlelap di kamarnya. Aku menggelengkan kepala, senyum terkulum menghiasi wajahku. Anna persis seperti tantenya dulu, Andini. Aku menyeduh kantung teh dalam gelas, uap air panas menyentuh daguku. Sepagi ini secangkir teh adalah pilihan paling tepat, setidaknya menurutku.
Kau masih terlelap di kamar, Timur. Aku membiarkanmu, sebab kau benar-benar butuh banyak istirahat. Toh akhir pekan adalah waktu bebas kita di rumah ini. Tanganku menyentuh layar ponsel, menekan beberapa tombol, meletakkannya di telingaku.
“Hallo, assalamualaikum, Bang Daru.” Andini menjawab riang di sana.
“Adik Abang sudah sholat subuh, kan?”
“Iya dong, Bang. Selalu.” Persis saat Andini menjawab, panggilan keduaku langsung terhubung ke Aksara. Kami bertiga terhubung dalam satu panggilan.
“Hello, Abang, Andini, assalamualaikum. Kalian sehat saja kan di sana?” Suara Aksa terdengar sangat dewasa dan berat. Adik-adikku telah dewasa.
“Hari ini Andini di kampus libur, jadi paling santai di kost saja.”
“Jangan malas-malasan terus kau, Andini.” Aksara mengingatkan.
“Wah, Bang Aksa mentang-mentang sudah kerja, pura-pura lupa bagaimana rasanya jadi mahasiswa yang bebas di hari libur.” Begitulah, celoteh mereka panjang, aku hanya tertawa mendengar mereka. Rasa-rasanya baru saja mereka berebut mainan di dusun Butuh, Temanggung dulu. Mataku basah di antara perdebatan Aksara dan Andini,teringat Emak yang sudah lama berpulang. Emak, andai kau masih hidup, aku butuh bersandar di bahumu.
***
Di wajahmu kulihat bulan
yang mengintai di sudut kerlingan
Sadarkah tuan
kau ditatap insan
yang haus akan belaian
Di wajahmu kulihat bulan
menerangi hati gelap rawan
Biarlah daku mencari naungan
Di wajah damai rupawan
Suara Surya yang bersenandung di pembaringannya terdengar merdu saat aku menutup kotak tempat dua puluh suratmu yang kusimpan. Surat yang datang tempo hari telah kubalas dengan sejuta rasa haru dan kebahagiaan. Aku sangat bersyukur bahwa kau masih mengingatku, Timur. Malam ini, aku membaca ulang surat-suratmu. Surya tak henti-hentinya menyanyikan lagu Sam Saimun berjudul Di Wajahmu Kulihat Bulan itu, dia sengaja mengejekku. Surya tidak tahu kalau kini lagu itu sepertinya sudah tidak lagi terdengar pilu, akan tetapi mencipta romansa di hati.
Seiring berjalan waktu, aku telah berhasil membuktikan aku layak. Terus memperbaiki kualitas kerja. Koko Kevin sangat senang melihat perkembanganku, sudah menguasai pekerjaan. Rumah Makan Cina ini tetap ramai seperti biasa, tak ada yang dirubah, gaya tradisionalnya masih dipertahankan pemilik barunya. Hari itu di meja kasir, aku membuka amplop suratmu yang baru tiba, Timur. Bisa kau bayangkan degup jantungku setiap kali akan mendengar kabar darimu?
Asalamualaikum, Andaru.
Alhamdulillah, aku baik-baik saja. Kuliahku pun lancar, pun demikian perihal bisnis almarhum Ayah. Karyawan-karyawan terbaik Ayah masih setia bekerja di sana, aku sangat dibantu oleh mereka sehingga tidak kerepotan membagi waktu antara belajar dan bekerja.
Andaru, aku senang mendengar kau telah berhasil menyekolahkan adik-adikmu. Kau memang pekerja keras dan rajin menabung. Aku bahagia mendengar pernyataan bahwa kau selalu merindukanku. Aku pun sama, kau tentulah mengetahui hal itu meski tak kuceritakan secara rinci.
Andaru, lewat surat kita butuh waktu lama untuk saling berbalas. Kini, sudah banyak telepon genggam dengan harga lumayan murah. Bagaimana kalau kita berkomunikasi melalui itu saja? Aku bisa mengirimkannya untukmu, Andaru, jika kau berkenan. Agar kita tidak lama menanggung rindu.
Wassalam, Langit Timur.