Pukul 07.00 WIB.
"Rapi sekali, memang kita mau ke mana sebenarnya?" Aku menggodamu yang sedang berdandan di kursi meja rias. Wajah cantik belasteranmu sedang kau solek. Meski menurutku itu tidak perlu, karena sudah cantik tanpa polesan. Kau hanya tersenyum mendengar rayuanku.
"Ayah sama Bunda pergi ke mana?" Ali tiba-tiba masuk.
"Hanya sampai sore, sayang. Ali sama adik di rumah saja ya, jangan kemana-mana. Main di dalam saja." Kau menoleh sebentar, membujuk anak kita yang paling susah jika ingin ditinggal itu.
"Iya, tapi ke mana?" Ali memasang wajah cemberutnya.
"Ke Semarang, sayang." Jawabku.
"Ada urusan, sayang, bukan untuk jalan-jalan. Minggu depan jadwal kita jalan-jalan, bukan?" Kau menerangkan kembali.
"Oke, kalau begitu Ayah sama Bunda hati-hati ya!"
Aku mencium pipi anak sulung kita itu.
"Sudah besar ya kamu ya! Adik mana?" Seruku.
"Ini aku, Ayah." Anna datang merangkulku, tertawa lepas. Kau tersenyum, Timur, melihat kedua anak kita memelukku bersamaan.
"Bunda tidak dipeluk juga?" Aku bertanya pura-pura bingung, mereka berdua berpindah tertawa mendekatimu, Timur. Aku bahagia melihat kebehagiaan sederhana ini.
Mobil kita berjalan santai melewati jalanan kota Yogjakarta. Rambutmu tergerai lurus. Syal merah hati tipis membalut lehermu, menambah kesan cantik selalu melekat di sana. Kau akan selalu muda bagiku, Timur. Tangan kiriku menggenggam jemari kananmu. Aku merasuki sela-selanya, lantas menariknya mendekati bibirku. Kecupan pelan tentu saja tak dapat kutahan menyentuh punggung tanganmu. Aku sesekali melirikmu sambil tetap fokus menyetir. Kau tersenyum. Namun matamu tidak. Aku bisa merasakannya.
Sayang, adakah beban tengah menghimpit hatimu?