Pukul 12.45 WIB.
“Andaru, apa kau benar-benar mencintaiku?” kau bertanya serius, suaramu bergetar menahan tangis.
“Apa maksudmu, jelas aku mencintaimu, Timur. Jika tidak untuk apa aku menikahimu selama ini, anak kita Ali dan Anna, sudah sebesar itu.” aku tidak mengerti maksud pertanyaanmu, Timur, kau malah menangis. “Kau kenapa, ada apa? Mengapa kau mengajakku ke sini, bertanya hal yang kau sendiri tahu jawabannya?” lanjutku dengan nada emosi tertahan, sedikit tersinggung dengan pertanyaanmu.
“Tidak, Andaru, kau mencintai orang yang salah, bahkan pernikahan bukan satu-satunya penjamin cinta.” katamu yang kemudian berjalan beberapa langkah dariku, kau menunjukkan sesuatu, aku mendekatinya memastikan tidak salah baca dengan tulisan itu.
“Langit Timur….” mataku memerah seketika, nafas mulai tersengal. Angin berhembus menggoyangkan bunga-bunga kamboja dan dedaunannya yang tumbuh mekar pada batangnya, menciptakan desiran diantara keheningan kita. “Siapa dia?” nada suaraku berubah, mulai dikuasai amarah. Kau masih hening.
"Kau jawab aku! Siapa dia?" Tatapan mataku tajam. Kau masih saja hening. Menangis. Aku menunduk lebih dekat lagi, memegang ukiran kalimat pada nisan sebuah makam itu. Tertulis di sana "Langit Timur binti Bramwell."
"Andaru maafkan aku. Aku sudah membuat kesalahan besar. Aku hanya menjalani janjiku kepada Timur." Kau mulai berbicara, aku diam menunggu kelanjutannya.
"Aku bukan Timur. Aku Barat, saudara kembar Timur." Ucapan yang keluar dari mulut wanita di sampingku ini begitu mendegupkan dada. Membuat amarah merambat cepat memenuhi darahku.
"Apa kau bilang?"