“Ghifa. Ghifa!”
Dua orang membangunkan seorang gadis dari lamunannya dengan serempak. Ia terkejut. “Eh, iya? Kenapa?” Iriana Al Ghifary, gadis berambut cokelat lurus sepinggang yang digerai itu bertanya kepada mereka yang ternyata adalah sahabat-sahabatnya.
“Udah waktunya pulang. Kamu nggak dengar belnya, ya?” Tanya gadis berambut hitam ikal panjang yang dikuncir kuda itu, Sarah.
“Aku lihat sejak istirahat tadi, kamu hanya melamun dan jari telunjukmu bergerak tidak jelas seolah sedang menulis sesuatu di atas meja.” Ujar gadis berkacamata bulat yang berambut hitam kecokelatan se-bahu yang sengaja ia gerai, Kekko.
Setelah mendengarnya, Ghifa reflek melihat ke tangan kanannya. Benar kata Kekko. Ghifa hanya bisa tertawa kecil karena malu sambil membereskan buku-bukunya dan memasukkannya ke dalam tas. “Kamu teh kenapa?” Tanya Sarah lagi. “Nggak kenapa-kenapa. Cuma berkhayal hehe.” Jawab Ghifa. Sarah dan Kekko melihat satu sama lain.
“Oooh jangan-jangan kamu sedang nge-halu-in bias,ya?”
“Atau kamu punya husbando?” (*Husbando=suami khayalan, biasanya 2D)
Ghifa hanya menatap bingung mereka berdua. “Ha? Kalian teh ngomong apa? Aku, kan sudah punya pacar. Untuk apa aku berkhayal soal laki-laki lagi?” Mereka berdua terdiam, sedangkan Ghifa bergegas keluar dari kelas karena ingin pulang. “E-eh? Ghifaaa! Tungguuu!”
Langkah demi langkah terlewati hingga mereka keluar dari kelas. Sebelum sampai gerbang sekolah, mereka masih berbincang berbagai macam hal. Namanya juga kalau sudah mengobrol dengan sahabat, apa saja akan dibahas dan itu terasa sangat seru bagi Ghifa.
Di depan gerbang sekolah, Ghifa melihat supirnya sudah menunggu untuk menjemputnya dengan mobil. Tidak, bukan supir. Tapi Paman. Memang posisinya sebagai supir, sih. Tapi alangkah baiknya jika memanggilnya Paman. Papanya Ghifa tidak memperbolehkan keluarganya untuk menganggapnya sebagai bawahan. Siapapun yang bekerja di keluarganya akan dianggap sebagai anggota keluarganya juga.
Keluarganya selalu menomorsatukan pendidikan dan attitude. Jadi itulah mengapa walaupun mereka sudah kaya raya, mereka tetap menyekolahkan anak-anaknya dan harus menjaga rasa hormat kepada yang lebih tua walaupun ia dipekerjakan oleh keluarganya.
“Terima kasih sudah menungguku, Paman.” Ucap Ghifa kepada pria paruh baya berumur 50 tahun itu. “Sama-sama, Neng Ghifa. Mari kita pulang!” Ajak Paman. Ghifa mengangguk mantap. “Besties, aku duluan yaaa!” Pamit Ghifa sambil melambaikan tangannya tinggi-tinggi.
“Josimhae!” Balas Sarah dengan semangat. (*Josimhae=Hati-hati, dalam Bahasa Korea)
“Ki o tsukete.” Balas Kekko tidak mau kalah walau datar sambil membalas lambaian Ghifa. (*Ki o tsukete=Hati-hati, dalam Bahasa Jepang)
Paman sudah mengambil posisi supir. Ghifa bergegas masuk ke dalam mobil dan memilih duduk di kursi belakang. Ada alasan tertentu mengapa ia lebih memilih duduk di kursi belakang.
Sepanjang perjalanan, Paman masih fokus pada jalan, sedangkan Ghifa asik memperhatikan keadaan di luar jendela mobil sambil mendengarkan lagu melalui headphone-nya. Karena memiliki sahabat yang suka K-pop dan anime serta mereka yang senang berbagi, lagu-lagu yang didengarkan oleh Ghifa saat ini pun random. Tapi tetap ada lagu yang Ghifa suka dan dia unduh sendiri.
Ting!
Volume suara notifikasi yang lebih besar dari volume lagunya membuat Ghifa terkejut. Bahkan Paman yang sedang fokus pun ikut terkejut karena mendengar Ghifa yang latah. “Kunaon, Neng?” Tanya Paman. “Ehehehe...hanya terkejut, Paman. Maaf udah membuat Paman terkejut juga.” (Kunaon=Kenapa, dalam Bahasa Sunda)
“Eh, nggak apa-apa, Neng.” Untungnya saat itu sedang lampu merah sehingga Paman terkejut bukan saat ia sedang mengendarai. Kini lampu hijau menyala. Paman mendorong rem tangan, lalu menginjak gas. Mobil kembali jalan.
Ghifa kembali melihat ponselnya. Ternyata ada pesan masuk dari pacarnya, Bayu. Ghifa sangat senang. Ia langsung memasuki ruang chat antara dia dan Bayu. Bayu mengajaknya jalan-jalan ke mal, sekalian ingin membeli kado untuk ibunya sore ini. Ia akan menjemput Ghifa dengan mobil. Tentu saja ia mau. Jarang-jarang pacarnya bersikap se-romantis itu padanya. Senangnya bukan main sampai Ghifa guling-gulingan di kursi belakang mobil. Itulah mengapa ia lebih memilih duduk di kursi belakang karena ia merasa, ia bisa bersikap sebebasnya.
Sementara Paman hanya menatap Ghifa aneh melalui cermin depan mobil.
***
Setelah melewati perjalanan yang cukup jauh, akhirnya Ghifa sampai di rumah kesayangannya. “Terima kasih, Paman.” Ucap Ghifa yang setelahnya langsung bergegas menuju kamarnya di lantai 2. Sesampainya di sana, ia mengganti pakaiannya khusus di rumah. Lalu mengambil kotak besar dari bawah tempat tidurnya, dan mengeluarkan sketchbook serta pensil warna dari dalam kotak itu. Kemudian dia menaruh keduanya di atas meja belajarnya, lalu duduk manis, membuka sketchbook-nya dan mulai menggores sesuatu dengan pensil yang dia ambil dari kaleng alat tulis yang memang sudah ada di atas meja belajarnya.
Ghifa membuat sketsa seorang wanita tanpa wajah yang memakai hoodie putih polos oversize yang hanya sampai batas tepat bawah dada dengan tudung seperti kelinci. Di dalam hoodie itu, ia memakai dalaman lagi yang cukup ketat berwarna hitam. Kemudian memakai rok hitam polos selutut namun cukup lebar dengan sepatu kets putih polos.
Keheningan kamar Ghifa hanya diisi oleh suara goresan pensil dan detik jam yang bergerak. Sedangkan lagu di ponsel Ghifa masih bermain melalui headphone yang masih terpasang di kedua telinganya. Dalam waktu singkat, ia berhasil menyelesaikan sketsa busana buatannya. “Fuuuh leganyaaaa! Akhirnya keinginan produktif-ku terbayar sudah. Aaaah terima kasih, wahai orang-orang yang kulihat hari ini! Kalian membuatku terinspirasi sampai membuatku sangat ingin produktif!” Gumam Ghifa dalam hati sambil meregangkan tubuhnya.
Ghifa teringat sesuatu.
Ia mengambil ponselnya yang berada di atas meja belajar tepat di sampingnya, lalu mengambil foto sketsa busananya. Kemudian ia mengunggahnya ke Artgram dimana para artist berkarya dan mempostingnya di sana.
Iya. Dia memang rajin memposting gambar desain busana remaja perempuan buatannya. Ia cukup terkenal di Artgram. Nama akun yang jauh dari nama aslinya membuat siapapun tidak tahu kalau itu adalah karya Ghifa. Termasuk keluarga dan para sahabatnya. Apalagi akun Ghifa, sebagian besar diikuti oleh orang luar negeri sehingga berkomunikasi menggunakan Bahasa Inggris. Tidak ada yang tahu kalau itu karya orang Indonesia.
Komentar demi komentar positif mulai muncul setelah Ghifa memposting karyanya. Itu membuat Ghifa semakin semangat untuk produktif. Tak lupa, Ghifa juga sering merespon komentar- komentar positif itu.
“Wah, gambar yang berantakan.”
Kepala seseorang yang muncul tepat di samping wajah Ghifa, membuatnya terkejut dan reflek menutupi karyanya dengan tangannya. “Teh Devi!”
“Loh, kenapa ditutupin? Walau berantakan tapi tetap kelihatan bagus kok.”
Deviana Al Ghifary, seorang mahasiswi yang berambut pirang keriting dan digerai, kini sedang mengacungkan jempolnya pada adik tersayangnya.
“Kok Teteh nggak mengetuk pintu kamarku dulu?” Marah Ghifa. “Teteh sudah mengetuk berkali-kali tapi Ghifa nggak kunjung membukanya. Ya udah Teteh buka duluan aja. Dan sekarang Teteh tahu apa penyebabnya.” Mata Devi tertuju pada headphone yang masih dipakai Ghifa. Ghifa langsung melepas dan menaruh headphone-nya karena malu. “Kamu menggambar apa?” Tanya Devi. Ghifa mengambil kertas gambarnya dari meja dengan kasar lalu menyembunyikannya di belakang tubuhnya. “A-aku nggak menggambar kok.” Elak Ghifa. (*Teteh=Kakak perempuan, dalam Bahasa Sunda)
“Tapi tadi Teteh lihat ada gambarnya.”
“Nggak ada, Teh. Nggak ada gambarnya.”
“Makanya Teteh mau memastikan.”
“Nggak mau.”
“Sebentar doang.”
“Nggak mauuu!”
Lama-lama Devi merasa kesal karena Ghifa tidak mau menunjukkan karyanya, sampai akhirnya ada niat iseng muncul di otaknya. Devi langsung mengambil ponsel dari dalam kantong celana training nya dan beraksi. “Aduh, aduh, aduh! Jari telunjukku bergerak sendiri ke aplikasi chatting. Ada apa ini? Apa jariku ingin memberitahu Mama? Aduh, aduh, aduh! Udah masuk room chat Mama.”
Ghifa langsung memeluk erat Devi. “Huwaaaa Teteeeh! Tolong jangan beritahu Mama dan Papa. Nanti aku beliin es krim, deh. Tapi tolong jangan beritahu Mama dan Papa. Huwaaaa.” Tangis Ghifa pecah. Karena kasihan, Devi menghentikan keisengannya. “Iya, Ghifaaa! Teteh nggak akan beritahu Mama dan Papa.” Mendengarnya membuat raut wajah Ghifa berubah menjadi senang dalam satu detik. “Kan Ghifa tahu sendiri kalau Teteh nggak akrab dengan Mama dan Papa. Kalau Teteh tiba-tiba chat mereka kan kesannya aneh.” Kata Devi sambil merebahkan tubuhnya di atas kasur milik Ghifa. Ghifa hanya bisa menatap sedih kakaknya.