Di bangku taman yang cat hijaunya mulai mengelupas, seorang perempuan duduk membelakangi jalan. Tubuhnya terbungkus mantel abu-abu tua yang terlalu longgar untuk tubuh sekurus itu. Di pangkuannya tergeletak syal merah yang belum sempat dipakai dan tangannya memegang termos kecil warna perak. Ia menuang teh hitam ke cangkir enamel, uap wangi menguar ke udara dingin.
Tidak jauh dari sana, sebuah balon merah melayang lambat di udara. Tersangkut sebentar di ranting, lalu lepas lagi. Mengambang rendah, seperti mencari pemiliknya atau sengaja meninggalkan sesuatu.
Perempuan itu tidak menoleh, tapi ia tahu balon itu ada. Ia mendengarnya, samar, seperti suara napas seseorang yang terlalu dekat.
Namanya Ivy. Atau setidaknya, itulah nama yang ia pakai sekarang. Wanita dua puluh enam tahun itu datang ke kota ini dua minggu lalu. Tanpa koper, hanya satu ransel hitam dan tas jinjing usang. Ia menyewa kamar kecil di rumah tua dekat rel kereta. Ia tidak berteman, tidak berbicara, tidak mencari pekerjaan.
Setiap pagi, pukul tujuh tepat, ia datang ke taman ini. Duduk di bangku yang sama. Diam. Menunggu. Entah apa.
Hari ini ia membawa sesuatu yang berbeda, sebuah buku catatan bersampul kulit, lusuh dan sobek di sudut. Ia meletakkannya di samping termos dan tidak membukanya. Hanya meletakkan. Seperti memperkenalkan seseorang kepada kursi kosong di sebelahnya.
Row melihat semuanya dari kejauhan. Ia berdiri di balik pohon mahoni yang hampir telanjang, jaraknya dua puluh langkah dari bangku Ivy. Setiap pagi sejak ia pertama kali melihatnya—dua minggu lalu—Row datang lebih awal. Ia tidak tahu mengapa. Awalnya hanya rasa ingin tahu. Kini sudah menjadi semacam kebiasaan. Kecanduan atau kutukan.
Ia mencatat jam kedatangan Ivy. Warna syalnya. Jumlah tegukan teh. Apakah Ivy membuka bukunya hari ini. Apakah ia menangis seperti hari Selasa lalu. Ia menggambar wajah Ivy di buku sketsa lusuh miliknya. Setiap garis lebih tajam dari sebelumnya. Seolah mengenali orang yang tidak pernah ia ajak bicara.
Row bukan penguntit. Setidaknya ia yakin bukan. Ia tidak membawa kamera, tidak menguntit ke rumah. Ia hanya … menjaga jarak. Mengamati. Membaca pola.
Dulu, ia terbiasa membaca manusia. Ia tahu kapan seseorang berbohong, kapan seseorang ingin mati. Ia dulunya seorang profiler di satuan investigasi khusus. Sekarang ia hanya seseorang yang tinggal di gedung tua dengan lantai kayu berderit dan langit-langit berjamur. Hidupnya seperti novel setengah terbakar, masih bisa dibaca, tapi menyakitkan dipegang.
Pagi ini berbeda. Karena Ivy menoleh. Matanya langsung bertemu mata Row yang berdiri tak cukup cepat untuk berpura-pura lewat.
Seketika waktu membeku. Suara kereta di kejauhan mendadak hilang. Angin berhenti. Bahkan balon merah itu menggantung kaku di udara. Satu detik. Dua detik. Lalu Ivy tersenyum. Pelan. Tidak lebar, tidak ramah, tapi cukup untuk membuat Row merasa seolah ia baru saja dipanggil namanya, padahal tak ada yang menyebut apa-apa.
Row melangkah pelan ke arah bangku. Tidak sepenuhnya sadar apa yang dilakukannya. Ivy tidak memalingkan wajahnya.
"Teh hitam," katanya tanpa melihat Row. Suaranya seperti kabut dingin tapi lembut, tidak menusuk.
Row hanya mengangguk. Duduk di ujung bangku. Menjaga jarak. Tidak berkata apa-apa.
Mereka diam selama dua belas menit. Row tahu karena ia sempat melihat jam tangan. Ivy mengangkat cangkir kedua dan meletakkannya di antara mereka. Sebuah tawaran, atau jebakan Row tidak tahu.
Ia meraihnya. Menghirup aroma teh. Wangi seperti masa kecil yang hilang. Atau kenangan yang ingin dimuntahkan tapi terlalu dalam untuk dikeluarkan.
"Apa kamu selalu menggambar orang yang tidak kamu kenal?" tanya Ivy tanpa menoleh.
Row membeku. "Kamu tahu?"
"Aku tahu sejak hari ketiga. Tapi kamu tidak seperti orang yang akan menyakitiku." Ivy menoleh. Matanya gelap, dan terlalu diam untuk seorang asing.
"Apa kamu yakin?" Row bertanya pelan.
Ivy menatapnya lama. Lalu mengangkat bahu. "Tak satu pun dari kita benar-benar yakin siapa yang akan menghancurkan siapa … sampai semuanya terlambat."
Row menatapnya. "Kenapa kamu datang ke taman ini setiap pagi?"
Ivy tersenyum, sangat tipis. "Karena aku ingin bertemu seseorang sebelum semuanya terlambat."
Row menelan ludah. Tenggorokannya terasa perih, seperti habis menelan bara api. Ia tak bertanya siapa. Ia tahu jawabannya bisa menghancurkan.
Ivy bangkit perlahan. Mengambil syalnya. Sebelum pergi, ia menyodorkan buku catatannya.
"Pegang ini sampai besok. Jangan buka sebelum jam tujuh pagi." Suaranya datar, tapi tangannya gemetar sedikit.