Asap teh hitam mengepul pelan dari mug lusuh yang pernah jadi hadiah dari mantan istri Row. Mug itu berwarna biru pudar, dengan retakan halus di dekat gagangnya. Dulu, setiap pagi, ia selalu menggunakannya saat masih menikah. Mug itu saksi bisu percakapan-percakapan hangat, tawa singkat, hingga diam-diam panjang yang kemudian menjadi jurang. Kini, setelah bertahun-tahun, mug itu tak lebih dari bejana hampa, sama seperti kehidupannya sendiri sejak pensiun dari unit profiler.
Dulu pikirannya tajam, seperti pisau yang baru diasah. Setiap detail kecil mampu ia tangkap, setiap pola ia baca. Sekarang, otaknya hanya dipenuhi bayang-bayang Ivy. Nama itu menempel di dinding benaknya, seperti noda tinta yang tak bisa dihapus meski ia sudah mencoba menutupinya dengan lapisan-lapisan alasan.
Sejak kejadian di taman seminggu lalu, pria empat puluh tahun itu tidak pernah tidur nyenyak. Tatapannya sering kosong di tengah malam, pikirannya dipenuhi gema satu kalimat yang ia temukan dalam buku catatan Ivy:
Apakah kau akan membiarkanku meledak kali ini?
Tulisan tangan Ivy yang miring dan tajam seperti serpihan kaca itu menghantui, mengalir seperti racun ke dalam mimpi-mimpinya. Ia tidak tahu apa maksud kalimat itu. Ancaman? Permohonan? Atau sekadar permainan kata dari seorang perempuan yang menjadikan hidup sebagai koreografi kehancuran?
Row berdiri, membuka tirai apartemennya. Langit mendung. Seperti biasa. Awan kelabu menggantung rendah, berat, nyaris jatuh ke bumi. Tapi ada yang tidak biasa di bawah sana.
Di dekat tiang lampu jalan, sebuah balon merah tersangkut.
Balon itu bergerak pelan ditiup angin, tali tipisnya melilit besi lampu. Row berada di lantai delapan. Terlalu tinggi untuk mainan anak-anak yang lepas. Terlalu terarah untuk dianggap kebetulan.
Row menarik napas panjang, menahan gemetar halus yang menyusup ke tangannya.
“Kau main api lagi, Ivy,” gumamnya.
**
Row duduk di meja kerjanya, menatap tumpukan map penyelidikan yang sudah lama ia abaikan. Map-map itu dulunya bagian dari hidupnya: profil pembunuh berantai, rekonstruksi pola kejahatan, catatan psikologis. Namun kini, semua itu hanyalah arsip berdebu.
Tapi hari ini berbeda. Row butuh mencari tahu. Bukan tentang Ivy. Bukan juga tentang kasus-kasus yang sudah lewat. Tapi tentang dirinya sendiri.
Apa yang membuatnya tidak bisa menjauh dari perempuan itu?
Ia mencoba menyusun jawabannya. Mungkin karena Ivy bukan sekadar 'pasien'. Ivy tidak pernah minta dimengerti. Dia hanya hadir. Menyentuh, lalu pergi. Tapi bekas sentuhannya menempel seperti bara di kulit. Luka yang anehnya tidak ingin ia sembuhkan.
Row menyalakan rekaman suaranya sendiri. Kebiasaan lama. Suara serak dari masa lalu terdengar memenuhi ruang:
“Subjek menunjukkan kecenderungan destruktif bukan untuk bunuh diri, tapi untuk membakar eksistensinya sendiri.”
“Catatan penting: Ada pola repetitif. Kehadiran. Ledakan. Lenyap. Lalu muncul kembali di tempat dan waktu yang memaksa keterlibatan emosional target.”
Row terdiam. Lalu jemarinya menekan tombol hapus. Kata terakhir itu menggangu.
Target?
Tidak. Ivy bukan target. Ivy adalah cermin. Atau mungkin... jebakan.