Before Everything Blows Up

Adeline Nordica
Chapter #3

The Woman in Smoke

Suara peluit kereta terdengar dari kejauhan. Bukan kereta sungguhan. Hanya rekaman tua yang diputar di taman sore itu dari pengeras suara rusak di pojok gerbang timur. Suara yang terdistorsi, patah-patah, seakan keluar dari tenggorokan mesin yang sudah sekarat. Ivy pernah menyebutnya: “suara hantu yang tak pernah sampai tujuan.”

Row kembali duduk di bangku besi berkarat. Bangku itu seolah altar tempat ia mempersembahkan luka, keterikatan, dan penyesalan. Cat hijaunya sudah mengelupas, meninggalkan bercak karat cokelat seperti darah beku. Tiga hari sudah sejak ia terakhir melihat Ivy. Tapi aroma teh hitam dan jejak parfum lavender murahnya masih terjebak di jaket Row. Menempel di serat kain, menyusup ke kulit, menyelinap ke dalam napas. Seperti asap yang enggan hilang.

“Ia akan datang,” pikir Row. Ia meyakinkan dirinya begitu, meski suara hatinya sendiri terdengar lebih seperti doa daripada keyakinan.

Namun sore ini, Ivy terlambat. Atau mungkin tidak akan datang lagi. Angin yang berembus dari utara membuat dedaunan bergoyang resah. Row menatap sekeliling. Bayangan pepohonan memanjang di tanah seperti garis luka yang menghitam.

Ia mulai meragukan apa yang nyata. Lalu, samar, angin sore membawa serpihan abu. Butiran hitam kecil melayang turun, menempel di lengan jas Row. Ia mengangkat tangannya, menatap. Abu itu mengeluarkan aroma samar. Row menghirupnya dalam-dalam. Ia mengenali wangi itu.

Bukan dedaunan terbakar. Bukan kayu, tapi wangi mantel yang pernah terbakar hidup-hidup, sepuluh tahun lalu.

Matanya terpejam sejenak. Dan ketika ia membukanya lagi, Ivy sudah ada di sana.

Wanita itu berdiri di bawah lampu taman yang redup, jas panjang kelabu membungkus tubuhnya, syal merah tua melingkar di leher. Rambutnya jatuh ke bahu, setengah menutupi wajah. Cahaya lampu memantul di matanya, membuatnya tampak seperti sosok yang setengah hidup, setengah bayangan.

Seekor kucing hitam muncul dari bawah bangku. Matanya buta sebelah, bulunya kusut. Ivy menunduk, menatap kucing itu lama, lalu berbisik pelan, “Ia melihat masa depan dari sisi yang hancur.”

Row menelan ludah. Tenggorokannya kering. “Kamu hampir terlihat nyata hari ini.”

Ivy menoleh, sudut bibirnya bergerak sedikit tapi tak sampai menjadi senyum. “Dan kamu hampir membuatku percaya padamu.”

Ia melangkah pelan, lalu duduk di samping Row. Kali ini tanpa jarak. Bahunya menyentuh bahu Row. Kontak sekilas, tapi cukup untuk membuat jantung Row berdebar dengan ritme tak menentu.

Ivy mengeluarkan sebuah korek api kecil dari sakunya. Ia membaliknya, menggesek roda pemantik, membuat lidah api kecil menari sesaat sebelum padam lagi. Ia mengulanginya berulang kali. Tidak menyalakan apa pun, hanya bermain, seolah menantang dunia untuk bereaksi.

“Apakah kamu takut pada perempuan yang bisa membakar segalanya hanya dengan kata-kata?” suaranya rendah, nyaris seperti desah.

Row tidak menjawab. Matanya menatap api yang muncul lalu hilang.

**


Flashback: Sepuluh Tahun Lalu

Sebuah rumah kayu. Malam kelam, angin bertiup kencang. Api menyalak di setiap sudut, menjilat dinding dan atap. Jeritan menusuk langit. Asap pekat membumbung.

Row berlari, tubuhnya terburu panik. Ia mencoba menembus kobaran, tapi api terlalu cepat. Pintu terkunci. Jendela tertutup rapat. Ia menendang, menghantam, berteriak. Terlambat. Selalu terlambat.

Lihat selengkapnya